Ticker

6/recent/ticker-posts

Peran Pangeran Aria Suriaatmaja Dalam Membangun Sumedang



Pendahuluan
Berdasarkan sumber tradisional, daerah Sumedang sebelum abad ke-17 merupakan daerah kerajaan yang disebut Kerajaan Sumedanglarang. Setelah kerajaan yang berpusat di Pakuan Padjadjaran (sekarang masuk wilayah Bogor) runtuh pada 1579, Kerajaan Sumedanglarang di bawah pimpinan Prabu Geusan Ulun bermaksud menggantikan kedudukan kerajaan Sunda tersebut. Geusan Ulun mengangkat dirinya sebagai nalendra dan mendapat dukungan dari empat pembesar (kandaga lante) Kerajaan Sunda, yaitu Embah Jaya Perkosa (Sahyang Hawu), Embah Terong Peot (Pancar Buana), Embah Kondang Hapa, dan Embah Nangganan (Wiradijaya). Mereka lolos dari Pakuan, sebelum Pakuan diserang untuk ketiga kalinya oleh Penembahan Yusuf Surasowan. Keempat pembesar ini menyerahkan Mahkota Binokasih, Benten, Siger, Tampekan, Kilat Bahu, Kalung Susun Dua dan Kalung Susun Tiga kepada Geusan Ulun sebagai simbolisasi dukungan mereka. Menurut naskah tradisional, penyerahan mahkota ini dilakukan pada 22 April 1578, yang kini dijadikan sebagai hari lahir Kota Sumedang.

Mahkota Binokasih dan lain-lain sekarang tersimpan rapih di dalam kubah kaca anti peluru di tengah Gedung Pusaka Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang dan sampai sekarang dapat dilihat. Dikarenakan usia yang sudah lama, mahkota pun megalami kerusakan dan diadakan perbaikan dengan melilitkan kawat untuk mengaitkan antara komponen satu dengan komponen yang lainnya. Menurut Abdul Syukur (pengurus Museum Prabu Geusan Ulun) replika Mahkota Binokasih dibuat di Yogyakarta dan sering dipakai oleh para keturunan raja Sumedanglarang untuk acara resepsi pernikahan. Tercatat pesohor tanah air pernah memakai replika Mahkota Binokasih tersebut seperti artis Paramitha Rusadi dan penyanyi Rosa.

Pada masa Bupati H. Endang Sukandar (HES) tahun 2003 dibangun Bunderan Mahkota Binokasih di perempatan jalan Pangeran Kornel bekas Polres Sumedang tetapi sebelum Bunderan Mahkota Binokasih selesai, Bupati H. Endang meninggal dunia dan penyelesaian Bunderan diteruskan oleh Wakil Bupati H. Ade Irawan lalu oleh H. Eka Setiawan. Pada pemilukada tahun 2018 kali ini, maskot pemilukada adalah Si Maskot Binokasih.

Kini, wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Barat sekarang kecuali Banten, Batavia, dan Cirebon. Pada awal abad ke-17, tepatnya pada masa pemerintahan R. Suriadiwangsa (Pangeran Rangga Gempol I), Kerajaan Sumedanglarang menempatkan diri di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram. Rangga Gempol I diangkat sebagai Wedana Bupati daerah Mancanegara Barat dengan gelar Pangeran Kusumadinata (Kusumah Dinata).

Pada masa Pangeran Panembahan Kusumadinata alias Rangga Gempol II (1656-1706), Kabupaten Sumedang ditempatkan dibawah kekuasaan Kompeni Belanda (VOC) berdasarkan perjanjian yang disepakati pada 19-20 Oktober 1677 antara Kerajaan Mataram dan Kompeni. Setelah Kompeni dibubarkan pada 1799, seluruh Kabupaten Sumedang secara otomatis berada dibawah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda hingga munculnya kekuasaan Jepang di Indonesia pada 1942. Pangeran Aria Suriaatmaja (Pangeran Makkah) adalah Bupati Sumedang ke-15 sejak wilayah Sumedang berada dibawah kekuasaan Kompeni, yang memerintah 1882-1919. (Lubis, 2000:42-43, Sulianti, 2014:4 & Iskandar 2013:297).

Penguasa Sumedanglarang Dari Masa Ke Masa
Sumedang memiliki akar sejarah yang panjang; ia memiliki masa prasejarah, masa Kerajaan Kuna Sumedanglarang (tahun 900 s.d. 1601), masa Bupati Wedana (1601 s.d. 1706), masa Bupati VOC (1706 s.d. 1799), masa Bupati Zaman Pemerintah Hindia Belanda (1800 s.d. 1942), masa Bupati Zaman Pemerintah Pendudukan Jepang (1942 s.d. 1945), dan bupati-bupati pada zaman kemerdekaan. Ini juga berarti bahwa Sumedang memiliki sejarah pemerintahan yang cukup lama.

Sejak masa Kerajaan Sumedanglarang sampai periode Pemerintah Pendudukan Jepang tercatat ada 29 penguasa (raja dan bupati). Tiap masa pemerintahan, tentu saja, meninggalkan jejak-jejak sejarahnya, baik yang bersifat artefak (fakta berupa benda-benda), mentifak (fakta mental), maupun sosefak (fakta sosial). Dari waktu ke waktu fakta-fakta itu mengakumulasi, menjadi memori kolektif dan sekaligus menjadi kebanggaan masyarakatnya. Foto-foto dan masa pemerintahan penguasa Sumedang terpangpang di Geduang Srimanganti Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang. Namun tidak semua penguasa Sumedang terpangpang fotonya. (Muhsin, 2008:1-2).


Penguasa Sumedang Pada Masa Kerajaan 
1. Prabu Guru Aji Putih (Raja Tembong Agung) 696 - 721 M
2. Brata Kusuma / Prabu Tajimalela 721 - 778 M
3. Jayabrata / Prabu Lembu Agung 778 - 893 M
4. Atmabrata / Prabu Gajah Agung. 893 - 998 M
5. Jagabaya / Prabu Pagulingan. 998 - 1114 M
6. Mertalaya / Sunan Guling. 1114 – 1237 M
7. Tirtakusuma / Sunan Tuakan. 1237 – 1462 M
8. Sintawati / Nyi Mas Ratu Patuakan. 1462 – 1530 M
9. Satyasih / Ratu Inten Dewata Pucuk Umum 1530 – 1578 M. (kemudian digantikan oleh suaminya Pangeran Kusumadinata I / Pangeran Santri)
10. Pangeran Kusumahdinata II / Prabu Geusan Ulun 1578 – 1601 M


Penguasa Sumedang Pada Masa Pengaruh Mataram
11. Pangeran Suriadiwangsa / Rangga Gempol I 1601 – 1625 M
12. Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata IV 1625 – 1633 M
13. Raden Bagus Weruh / Pangeran Rangga Gempol II. 1633 – 1656 M
14. Pangeran Panembahan / Rangga Gempol III 1656 - 1706 M
- Penguasa Sumedang Pada Masa Pengaruh Kompeni VOC:
15. Dalem Adipati Tanumadja. 1706 – 1709 M
16. Pangeran Karuhun / Rangga Gempol IV 1709 – 1744 M
17. Dalem Istri Rajaningrat 1744 – 1759 M
18. Dalem Adipati Kusumadinata VIII / Dalem Anom. 1759 – 1761 M
19. Dalem Adipati Surianagara II 1761 – 1765 M
20. Dalem Adipati Surialaga. 1765 – 1773 M


Penguasa Sumedang Penyelang / Pengganti
21. Dalem Adipati Tanubaya 1773 – 1775 M
22. Dalem Adipati Patrakusumah 1775 – 1789 M
23. Dalem Aria Sacapati. 1789 – 1791 M


Penguasa Sumedang Pada Masa Pemerintahan Belanda
(Merupakan Bupati Keturunan Langsung leluhur Sumedang).
24. Pangeran Kusumadinata IX / Pangeran Kornel. 1791 – 1828 M
25. Dalem Adipati Kusumayuda / Dalem Ageung. 1828 – 1833 M
26. Dalem Adipati Kusumadinata X / Dalem Alit. 1833 – 1834 M
27. Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 – 1836 M
28. Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Sugih. 1836 – 1882 M
29. Pangeran Aria Suriaatmadja / Pangeran Mekkah. 1882 – 1919 M
30. Dalem Adipati Aria Kusumadilaga / Dalem Bintang. 1919 – 1937 M
31. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1937 – 1946 M


Penguasa Sumedang Pada Masa Republik Indonesia
32. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1945 – 1946 M
33. R. Hasan Suria Sacakusumah. 1946 – 1947 M
34. R. Tumenggung Mohammad Singer. 1947 – 1949 M
35. R. Hasan Suria Sacakusumah. 1949 – 1950 M (Bupati terakhir keturunan langsung leluhur Sumedang). (Bidang Sejarah dan Silsilah Museum Prabu Geusan Ulun hal. 24-25).

Menurut beberapa sumber dan juga dibenarkan oleh Abdul Syukur, pusat pemerintahan Sumedanglarang pun selalu berpindah-pindah. Mulai dari Citembong Ganeas, namun beliau ragu akan hal itu dan dari data yang kuat ibu kota pertama yaitu di Leuwihideung Darmaraja, Tembong Agung, Ciguling Pasanggrahan Sumedang Selatan, Situraja, Tegalkalong Sumedang Utara, Kutamaya Sumedang Selatan, Gunung Rengganis (Dayeuh Luhur atau kota yang berada di ketinggian). Salah satu alasan kenapa ibukota pemerintahan di pindahkan ke Gunung Rengganis atau Dayeuh Luhur adalah untuk bisa lebih mengontrol daerahnya dari serangan musuh terlebih dari pasukan Kesultanan Cirebon setelah terjadinya peristiwa ‘Ratu Harisbaya”, lalu berpindah lagi ke Canukur Ganeas, Parumasan Paseh, Conggeang, Conggeang, Tegal Kalong lagi, regol Wetan, dan terakhir ke kawasan Museum sekarang. Sekitar 4 tahun yang lalu dibangun Induk Pusat Pemerintahan (IPP) di daerah By Pas Gajah Agung Sumedang Utara.

Walaupun kerajaan Sumedanglarang termasuk kerajaan besar dengan luas wilayah yang luas dan beribukota berpindah-pindah tetapi tidak ditemukan reruntuhan kerajaannya. Di museum Prabu Geusan Ulun pun hanya ditemukan beberapa batu bata yang diyakini bekas peninggalan kerajaan Sumedanglarang. Di museum juga didapati foto daerah yang diyakini bekas ibukota atau Kerajaan Sumedanglarang. Menurut Abdul Syukur hal itu disebabkan falsafah sunda yang teramat rendah diri yaitu Nyumput Buni Dinu Caang (Bersembunyi Ditempat Terang). Walaupun begitu fondasi-fondasi bekas kerajaan Sumedanglarang secara arkeologis masih bisa dilacak jejaknya. Yang menyulitkan untuk dilakukan penggalian adalah bekas kerajaan itu sudah menjadi hamparan sawah milik-milik pribadi dan menjadi pemukiman.


Latar Belakang Keluarga Pangeran Aria Suriaatmaja
Pangeran Aria Suryaatmaja dilahirkan pada tanggal 11 Januari 1851 di Sumedang, ayahnya adalah Pangeran Suria Kusumah Dinata (Pangeran Sugih) Bupati Sumedang yang memerintah sejak 1836, sedangkan ibunya bernama Raden Ayu Ratnaningrat, puteri Demang Somawilaga Jaksa Sumedang.

Menurut tradisi yang berlaku saat iu, bupati-bupati Sumedang secara genealogis berasal dari keturunan Raja Padjadjaran dari pihak ibu dan Sunan Gunung Djati dari Cirebon dari pihak ayah. Sewaktu masih anak-anak, Pangeran Aria Suriaatmaja biasa dipanggil “Aom Sadeli”. Saudaranya yang seayah-seibu berjumlah empat orang, satu orang wanita dan tiga orang lainnya laki-laki yang masing-masing bernama Raden Ayu Raja Retnadi (Aisyah), Raden Raja Permana, Raden Sahri Banoningrat, dan Raden Kadir Sumawilaga (Aom Kadir Soemawilaga).

Menurut penuturan Raden Rangga Wiasaputra, Pensiunan Wedana Darmaraja. Pangeran Aria Suriaatmaja mulai belajar di sekolah pada usia delapan tahun. Kemudian, belajar bahasa Belanda sampai bisa. Pada usia 14 tahun, beliau ikut magang sambil belajar bahasa Inggris dan Prancis. Tidak dilupakan pula belajar agama, termasuk mengaji al-Qur’an.

Pernikahan Pangeran Aria Suriaatmaja dengan Raden Ayu Rajaningum, putri Raden Demang Adiwijaya dari Garut, menghasilkan seorang putri bernama Raden Ayu Jogjainten yang biasa dipanggil “Jubaedah”. Purinya ini kelak menikah dengan Raden Rangga Wirahadisurya dan menghasilkan seorang anak bernama Raden Achmad Basari yang wafat pada tahun 1917. Dengan demikian Pangeran Aria Suriaatmaja tidak mempunyai penerus yang langsung dari keturunannya. Menurut Abdul Syukur, harta benda Pangeran Aria Suriaatmaja semua di wakafkan kepada masyrakat Sumedang untuk kepentingan umum karena bila diwariskan kepada saudara-saudaranya dikhawatirkan akan menimbulkan konflik.


Kemajuan Sumedang Di Zaman Pangeran Aria Suriaatamaja
Jabatan pertama dalam dunia pangreh praja (inlandsche bestuur) yang didudukinya pada usia 18 tahun adalah Kaliwon Negeri Sumedang berdasarkan besluit pengangkatan pada 1 Agustus 1869. Kaliwon bertugas, antara lain, memeritahkan umbul untuk mencari kuda atau tenaga kerja, mempersiapkan kedatangan tamu, menyiapkan segala keperluan bupati bila hendak bepergian, dan menerima surat keluar-masuk kabupaten.

Dua tahun kemudian, ia diangkat menjadi Wedana Ciawi berdasarkan besluit pada 7 Pebruari 1871, dan empat tahun berikutnya, tepatnya pada 1875, beliau diangkat menjadi Patih Afdeling Sukapura Kolot berdasarkan besluit pengangkatan pada 29 November 1875.

Pada 22 September 1882, Pangeran Sugih wafat, sementara penggantinya, yakni Raden Rangga Martanagara, belum juga diangkat. Raden Rangga Martanagara ketika itu masih menjadi Patih Sumedang yang diangkat sebagai pejabat sementara (waarnemend) Bupati Sumedang.

Putra tertua Pangeran Sugih, yakni Raden Demang Somanagara yang menjadi Patih Agung Tasikmalaya, rupa-rupanya dianggap kurang memenuhi syarat oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi bupati. Ini terbukti dengan dikeluarkannya besluit pada 30 Desember 1882 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Isi besluit ini menyatakan, bahwa Raden Rangga Suriatamaja, putra Pangeran Sugih keempat yang ketia itu menjadi Patih Afdeling Sukapura Kolot, diangkat menjadi Bupati Sumedang yang baru.

Usia Pangeran Aria Suriaatmaja sewaktu diangkat menjadi Bupati Sumedang kira-kira 31 tahun. Usia yang relatif matang untuk menjadi seorang pemimpin. Lebih-lebih, Pangeran Aria Suriaatmaja telah melewati perjalanan karier pangreh praja yang cukup lama, yakni sekitar 13 tahun. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan peraturan yang berlaku bagi orang yang bukan keturunan bupati, perjalanan karier Pangeran Aria Suriaatmaja relatif sangat cepat. Untuk orang biasa, dari jabatan asisten wedana ke jabatan wedana saja memakan waktu sekitar 12 tahun, sedangkan untuk patih bergantung pada kecakapannya.

Kemajuan yang dicapai oleh Bupati Pangeran Aria Suriaatmaja antara lain di bidang pertanian, pemerintahan, pendidikan, keagamaan, kebudayaan, kesejahteraan rakyat, olahraga dan lain-lain.

1. Bidang Pertanian
Kebanyak penduduk Sumedang berprofesi sebagai petani dengan tekstur tanah bergunung-gunung dan berbukit-bukit serta kurang sekali memiliki pedataran luas sementara sungai yang dapat mengairi sawah amat langka kalaupun ada hanya sungai Cimanuk yang melewati sudut kabupaten di sebelah selatan dan timur. Melihat itu, maka Pangeran Aria Suriaatmaja menyebarkan buku berjudul Mitra nu Tani hadiah dari “Hoofd” Panghulu Garut Raden Muhammd Musa (alm), kepada pejabat-pejabat serta para lurah untuk dipelajari, khususnya untuk mengatasi keadaan tanah pertanian di Kabupaten Sumedang.

Proses pertanian diawasi langsung oleh Pangeran Aria Suriaatmaja, lahan yang posisinya miring dan struktur tanah yang mudah terbawa aliran air “disengked”, yakni dibuat bertangga-tangga (terasering) sehingga lahan tersebut dapat ditanami padi. Hasilnya, area pesawahan bertambah luas, meskipun kebanyakan difungsikan untuk sawah tadah hujan. Di samping itu, disediakan pula lahan untuk dibuat menjadi pesawahan, bibit tanaman dari Indramayu, bibit kelapa dari Jawa Tengah dan Bali, bahkan modal ternak.

Pada tahun 1886, Pangeran Aria Suriaatmaja berusaha keras agar beberapa desa yang penghasilannya sangat minim dibebaskan dari kewajiban menanam kopi. Permintaan itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, Pangeran juga mengusahakan pembangunan irigasi di daerah Ujung Jaya yang gersang. Perluasan penanaman lalap-lalapan, tanaman jambu di Cijambu dan Gunung Simpay juga dilakukan. Demikian pula daerah yang tandus penuh alang-alang digarap menjadi penghasil kentang dan sayuran yang potensial. Untuk menunjang area pertanian, peternakan kuda, sapi, dan kerbau, semakin digalakkan.

Pada 1903, naib Tanjungsari R. H. Muhammad Usman disertai adiknya R. Muhammad Pesta (yang akrab dengan urusan kuda) dikirim ke Sumba dan Sumbawa untuk mencari kuda pejantan. Sapi dari Madura juga di datangkan pada tahun 1908, sedangkan sapi Benggala dibagikan kepada para petani dan cara pembayarannya sangat lunak, yakni dengan cicilan. Dokter hewan dimintai tolong untuk ikut memeriksa ternak-ternak rakyat ini. Untuk memotivasi semangat beternak, pertandingan kebagusan ternak rakyat pun kerapkali diadakan. Hadiah bagi pemenang langsung diberikan oleh Pangeran sendiri berupa premi-premi dan sertifikat yang berisi nasihat-nasihat yang sangat bermanfaat.

Para priyayi diwajibkan memimpin pemberantasan hama tanaman, termasuk babi hutan, kera, tikus. Laporan para priyayi tentang tikus yang ditangkap, kemudian dicocokkan dengan jumlah ekor tikus yang ada. Untuk urusan pupuk tanaman, Pangeran Aria Suriaatmaja, selain memerintahkan pemupukan dengan kotoran ternak, juga dengan sampah yang lebih dahulu di timbun dalam lubang sampah.

Pangeran juga memberikan contoh membuat hutan lindung (hutan larangan) untuk menjaga kesuburan tanah. Pada 1898, beliau membeli 40 ha tanah gundul dan bertebing-tebing yang sangat curam, kemudian “disengked” serta dihijaukan kembali (reboisasi). Disamping itu, Pangeran Aria Suriaatmaja juga berusaha menyadarkan sebagian rakyatnya (yang masih menabukan daerah tertentu dijadikan sawah) untuk mengubah daerah tersebut menjadi pesawahan. Usaha ini ternyata berhasil. Keberhasilan ini tentu saja karena wibawanya sebagai penguasa tradisional yang amat disegani, selain peran Pemeritah Hindia Belanda yang ikut mendukung usaha ini. Salah satunya ialah memberikan premi-premi bagi penduduk yang berhasil memelihara ternaknya dengan baik.

Pangeran Aria Suriaatmaja mengirim utusan Raden Rangga Wirahadisuira, Patih Sumedang ke sekolah Pertanian (Desa Landbowschooltjes) di Ciparay (Soreang) yang didirikan pada 1910, untuk menjajaki kemungkinan didirikannya sekolah semacam itu di Sumedang. Pada 1914, dengan modal 3.000.00 gulden yang diambil dari sakunya pribadi, Pangeran Aria Suriaatmaja mendirikan Sekolah Pertanian di Tanjungsari. Untuk merangsang peningkatan produksi pertanian dari sekolah yang didirikannya, bupati senantiasa membeli produk pertanian murid-murid sekolah tersebut. Luas sekolah yang semula 6 bau, kemudian ditambah menjadi 12 ha.

2. Bidang Pemerintahan
Untuk kelancaran jalannya pemerintahan, bupati mengadakan rapat dikecamatan setiap minggunya. Hasilnya, berbagai laporan perkembangan di daerah setempat, seperti laporan kematian, laporan tentang penyakit-penyakit yang terjangkit – baik manusia maupun hewan – dilaporkan secara rinci. Laporan ini sangat membantu dan mempermudah pelaksanaan tugas-tugas bupati. Ini semua tidak terlepas dari peran pengawasan Pangeran Aria Suriaatmaja. Daftar ronda desa dan gardu-gardu tempat ronda pun tidak terlepas dari perhatiannya.

Bidang peradilan yang erat kaitannya dengan masalah keamanan juga diperhatikannya. Bila ada tunggakan perkara, langsung ditanyakan sebab-sebab tertundanya pemeriksaan perkara tersebut, dan ia tidak menerima begitu saja penjelasan petugas lapangan. Bupati acapkali turun langsung (blusukan) melakukan pemeriksaan ke desa-desa untuk mencocokkan laporan-laporan aparatnya dengan kenyataan yang ada dilapangan sambil memeriksa kebersihan pekarangan penduduk, dan mengamati segala hal yang berkaitan dengan tanaman pangan.

Surat-menyurat dari kabupaten ke bawahan (kedewanan kecamatan) menggunakan huruf latin, atau huruf Sunda, serta berbahasa Sunda. Sementara itu, surat yang datang dari kabupaten untuk pejabat-pejabat Belanda (residen, asisten residen, controleun) ditulis dengan huruf latin dan berbahasa Melayu. Surat-surat tersebut kemudian dibundel dengan jahitan rapih.

Pangeran juga memberikan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda dengan menerbitkan buku Di Tiung Memeh Hujan (Sedia Payung Sebelum Hujan) dan Manuk Hiber Ku Jangjangna (Burung Terbang Dengan Sayapnya Sendiri) untuk mencerdaskan dan membangkitkan kesadaran rakyatnya dari ketertindasan akan sebuah kemerdekaan serta akan pentingnya pemerintahan sendiri. Walaupun oleh Belanda dianggap berbahaya tetapi setelah beliau wafat dibangunkan sebuah bangunan Lingga di tengah-tengah Alun-alun Sumedang sebagai penghormatan atas jasa-jasa beliau. Bahkan 5 tahun yang lalu, Pemda mengusulkan supaya Pangeran Aria Suriaatmaja di angkat menjadi pahlawan nasional. Di belakang alun-alun atau depan gedung DPRD Sumedang terdapat jalan bernama Jalan Pangeran Aria Suriaatmaja yang sengaja dinamai oleh pemerintah setempat sebagai penghormatan atas jasa-jasa beliau.

Ketika Sumedang “kedatangan tamu” dari Aceh yaitu Cut Nyak Dien yang diasingkan Belanda maka Pangeran Aria Suriaatmaja “menitipkan” Cut Nyak Dien kepada KH. Sanusi ulama Masjid Agung Sumedang yang sudah mendapat gelar Penghulu untuk tinggal di rumahnya. Tetapi dikarenakan pada waktu itu rumah sang Kiai sedang diperbaiki maka Cut Nyak Dien dititipkan dahulu di rumah H. Ilyas selama ebih kurang dua minggu setelah itu di rawat di rumah KH. Sanusi sampai wafat.

3. Bidang Pendidikan
Sebagaimana yang telah di singgung diatas bahwa Pangeran Aria Suriaatmaja mendirikan Sekolah Pertanian di Tanjungsari dengan biaya pribadi. Pendidikan rakyat umu menjadi perhatiannya yang paling utama, karena beliau sering memeriksa bangunan sekolah termasuk pekarangannya, kehadiran murid, pengetahuan murid, serta kebersihan pakaian dan badan. Hubungan antara guru dan orang tua muridpun tidak lepas dari perhatiannya.

Berkat usahanya mendirikan sekolah-sekolah baru di berbagai tempat, perkembangan pendidikan rakyat di Sumedang semakin meningkat. Bahkan, Kabupaten Sumedang menjadi kabupaten pertama yang telah mengenal wajib belajar.

Pada tahun 2012 Yayasan Pangeran Sumedang mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Jl. Empang bekas bangunan SMPN 2 Sumedang dengan nama SMK Pangeran Suriaatmaja sebagai penghormatan akan jasa beliau dalam bidang pendidikan.
Pada abad ke-20 Bupati Pangeran Aria Suriaatmaja meminta K.H. Muhyiddin atau yang lebih dikenal dengan panggilan Mama Pagelaran untuk mengajar di daerah Sumedang, lalu membangun pesantren. (Buletin al-mau’idzah edisi April 2017).

4. Bidang Keagamaan
Pangeran Aria Suriaatmaja adalah seorang elit birokrasi yang memperhatikan sikap religus yang tinggi. Itulah sebabnya, setelah wafat beliau digelari “Pangeran Makkah”, karena wafatnya di Makkah ketika sedang menunaikan ibadah haji.

Salah satu wujud kepeduliannya terhadap ajaran Islam adalah perhatiannya yang sangat besar terhadap dunia pesantren bahkan seluruh pesantren yang ada di Sumedang mendapat perhatiannya. Acara Maulid Nabi Muhammad sering diadakan secara besar-besaran. Segala lauk-pauk diadakan untuk acara tersebut, bahkan ikan hidangan sengaja dipelihara terlebih dahulu selama setahun. Dalam acara itu, berbagai lapisan masyarakat dari atas sampai bawah diundang untuk saling berbagi rasa.

Di berbagai tempat seperti di Regol (kota), Wado, dan Conggeang beliau mewakafkan tanah untuk syiar Islam, termasuk untuk keperluan guru mengaji di desa-desa. Zakat dan sedekah dibagikan setiap bulan ke seluruh kecamatan. Penduduk yang miskin, apalagi sanak saudaranya selalu mendapatkan perhatiannya. Bahkan, ada penduduk yang setiap minggunya mendapatkan jatah padi. Banyak juga sanak saudaranya yang disekolahkan dengan biaya dari beliau sendiri. Selain puasa di bulan Ramadhan, beliau tidak pernah meninggalkan puasa sunnah Senin-Kamis. Pendek kata, kekentalan prilaku Islam ditampilkannya dalam kehidupan sehari-hari. Beliau berfalsafah, “Haram ngadahar duit gajih anu henteu kagawean sacukupna” (Haram menerima uang gaji tanpa bekerja secukupnya).

Dikalangan tertentu, beliau dikenal sebagai orang yang “dapat melihat masa depan”. Beliau juga dianggap memiliki kelebihan spiritual, khususnya yang berkaitan dengan ucapan-ucapannya yang selalu terbukti kemudian (saciduh metu, saucap nyata).

5. Bidang Kebudayaan
Pangeran Aria Suriaatmaja (Pangeran Mekah), selain sebagai elite birokrasi, juga seorang sastrawan Sunda, ahli pembuat syair lagu, dan banyak mengarang buku. Salah satu tulisannya yang termasyhur adalah berjudul Ditiung Memeh Hujan (Sedia Payung Sebelum Hujan)—sebuah buku yang berisi kiasan tentang perlunya pertahanan pribumi. Gagasan-gagasan yang tertuang dalam buku kiranya berkaitan erat dengan masalah Indie Weerbaar (Pertahanan Hindia), yakni gagasan yang mempermasalahkan perlu-tidaknya milisi atau mobilisasi tenaga muda guna mempertahankan tanah air sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia I (1914-1918) yang juga ikut mengancam Pemerintah Hindia Belanda.

Sebagai bukti bakat seninya di bidang sastra, ketika Pangeran Aria Suriaatmaja menyerah terimakan jabatnnya kepada adiknya, Tumenggung Kusumadilaga, ia memberikan sambutan dalam bentuk puisi berikut :

Pirang-pirang kaboengahan
Anu henteu aja tanding
Ngadangoekeun pangdoengana
Estu njerep kana ati
Rasa teh asa ngimpi
Atoh paboer djeung ngoengoen
Neneda ka jang Soekma
Sing jaoeh tina balai
Ulah aja halangan sarta haroengan
Reudjeung ditetepkeun iman
Ibadah ka Maha Sutji
Ambeh meunang kanoegrahan
Abdi-abdi menak kuring
Toehoe satia ati
Moerid-moerid pon njakitoe
Amalkeun sapiwoelang
Djeung kami ajeuna pamit
Amit mundur tina ngaheujeuk Nagara

Djeung soepaja pada terang
Ajeuna anoe ngaganti linggih djeneng di Soemedang
Linggih djeneng di Soemedang
Enja eta dukur kami
Masih tunggal sabibit
Karoehoen ti Geusan Ulun’urang Soemedang pisan
Urang Soemedang pisan
Sama ibu Tjiamis
Opat poeloeh poejoel sataoen joeswana

Eta ti alitna pisan meunang damel di Tjiamis
Meunang damel di Tjiamis
Asoepna ka Tjirebon
Diaping-aping didjaring
Ilham anjeuna tepi
Lelebaran ti karoehoen
Anjeuna katibanan
Gaganti djeneng boepati
Anoe baris ngaheujeuk dajeuh Soemedang

Perhatikan, bahwa susunan huruf awal dari setiap baris menunjukkan nama Pangeran Suriaatmaja dan Dalem Kusumadilaga. Selain itu, beliau juga mahir membuat pungkur.

6. Bidang Kesejahteraan Rakyat
Untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai, Bank Simpan Pinjam dibangun. Pembangunan ini dipimpin langsung oleh Pangeran Aria Suriaatmaja hingga selesai 1915. Pangeran juga membangun rumah untuk para kepala ondernistrik dengan menggunakan dana pribadinya.
Selaku pegawai, beliau juga berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil. Lumbung Desa (sebelumnya disebut Lumbung Miskin) pun didirikan untuk membantu rakyat miskin. Untuk mewujudkan rencana besarnya ini, lahan kosong untuk pendirian tempat pengobatan gratis bagi rakyat kecil dibeli di Cipanas-Conggeang dan Cilengsi. Pada 1897, bupati memberikan lahan garapan dan perumahan bagi orang-orang Indramayu yang berdatangan ke Sumedang mencari pekerjaan, karena musim paceklik di daerah asalnya.

Bidang kehidupan lain yang menjadi perhatiannya adalah dunia rumah tangga. Beliau tidak menyetujui soal kawin muda, dan beristri lebih dari satu bagi para priyayi. Sikap tegasnya ini dicontohkan oleh dirinya sendiri hingga akhir hayatnya yang hanya mempunyai satu istri yaitu Raden Ayu Rajaningrum.

7. Bidang Olahraga
Pangeran membuat arena pacuan kuda untuk berlatih dan perlombaan ketangkasan kuda yang sekarang masih bisa di rasakan manfaatnya oleh masyarakat yang terletak di daerah Ketib (kota). Beliau juga hobi memanah dan tak jarang diadakan perlombaan memanah dengan hadiah yang cukup besar dari bupati. (Lubis, 2000:45-57, Cut Nyak Dien bin Nata Setia hal. 3 dan Rustandi:2013:34). 

Wallahu ‘alam bishshawab.

Ditulis Oleh :
Dedi Endang Kusmayadi Somaatmadja, Kamatren Kebudayaan Keraton Sumedang Larang, SK No, 001 / SK MHPTH / KSL / VII / 2019.

DAFTAR PUSTAKA
  • Iskandar, Yoseph. 2013. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa). Bandung: Geger Sunten.
  • Keluarga, Forum H. Husna bin KH. Sanusi Sumedang. Cut Nyak Dien bin Teungku Nanta Setia. Pdf
  • Lubis, Ninah H. 2000. Tradisi & Transformasi Sejarah Sunda. Bandung: Humaniora Utama Press.
  • Muhsin Z, Mumuh. 2008. Kerajaan Sumedanglarang. Makalah disampaikan dalam diskusi penulisan buku Sejarah Sumedang dari Masa ke Masa pada tanggal 5 Agustus 2008. Falultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung. Pdf .
  • Rustandi, Deddi. Masjid Agung dan Sekitarnya. Sumedang: CV. Belmas.
  • Sejarah, Bidang & Silsilah Museum Prabu Geusan Ulun. Profil Museum Prabu Geusan Ulun. Pdf.
  • Sulianti, Anna Meirlina. 2014. Kajian Bandingan Wawacan Babad Sumedang Karya R.A.A. Martanagara Dengan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun Karya Saini K.M. Sebagai Alternatif Pemodelan Pembelajaran Alih Wahana Di Kelas X Program Peminatan Ilmu Bahasa Dan Budaya. Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Pdf.
  • Buletin al-Mau’idzah Edisi Khusus April 2017.


Posting Komentar

0 Komentar