Ticker

6/recent/ticker-posts

Identifikasi Makam Sunan Pangadegan Di Situs Candi Cangkuang Leles Garut


Sejarah penemuan Candi Cangkuang bermula dari 1966, saat tim peneliti Harsoyo dan Uka Candrasasmita melakukan penelusuran berdasarkan laporan Vorderman, yang terbit pada 1893. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa ada sebuah arca yang rusak serta makam leluhur Arief Muhammad di Leles.
 
Diperkirakan bahwa Candi Cangkuang adalah peninggalan agama Hindu dari sekitar abad ke-8. Sedangkan fungsi Candi Cangkuang adalah sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Siwa dan dewa-dewa dalam kepercayaan Hindu lainnya. Penelitian itu dilanjutkan pada 1967 dan 1968. Pada awalnya, hanya terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan bangunan candi dan di sampingnya terdapat sebuah makam kuno berikut sebuah arca Syiwa yang terletak di tengah reruntuhan. Di dekat kuburan Arief Muhammad, peneliti menemukan fondasi candi berukuran 4,5 x 4,5 meter dan batu-batu candi yang berserakan.

Proses pemugaran Candi dimulai pada 1974-1975 dan pelaksanaan rekonstruksi dilaksanakan satu tahun kemudian. Dalam pelaksanaan pemugaran pada 1974, ditemukan kembali batu candi yang merupakan bagian-bagian dari kaki candi. Bangunan candi Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 meter, dengan tinggi 30 cm. 

Sedangkan kaki bangunannya berukuran 4,5 x 4,5 meter dengan tinggi 1,37 meter. Di sisi timur, terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 meter dan lébar 1,26 meter. Tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat dengan ukuran 4,22 x 4,22 meter dan tinggi 2,49 meter, di mana di sisi utara terdapat pintu masuk. 

Sedangkan puncak Candi Cangkuang terdiri atas dua tingkat, yang di dalamnya terdapat ruangan berukuran 2,18 x 2,24 meter yang tingginya 2,55 meter. 






Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca dengan posisi sedang bersila dan di depan kaki kirinya terdapat kepala sapi (nandi), yang telinganya mengarah ke depan. Dengan adanya kepala nandi, para ahli menganggap bahwa ini adalah arca Siwa. 

Selain itu, kedua tangan arca iitu menengadah di atas paha dan pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada, dan penghias telinga. Namun, keadaan arca ini sudah tidak utuh lagi, di mana bagian wajahnya datar dan bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang.


Candi Cangkuang adalah candi Hindu yang berada di Jawa Barat, tepatnya di Kampung Pulo, wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut. Bangunan ini merupakan candi yang pertama kali ditemukan di tanah Sunda dan menjadi candi Hindu satu-satunya di Sunda. Candi Cangkuang merupakan peninggalan kerajaan Sunda pertama yaitu Kerajaan Galuh. Meski bercorak Hindu, di dekat lokasi Candi Cangkuang terletak makam Syekh Dalem Arief Muhammad, yaitu pemuka agama Islam yang dipercaya sebagai leluhur penduduk Desa Cangkuang. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa tempat candi ini berada. Kata 'Cangkuang' sendiri adalah nama tanaman sejenis pandan, yang banyak terdapat di sekitar makam Syekh Dalem Arief Muhammad.

Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat, kami mendapat informasi penting bahwa Syekh Dalem Arief Muhammad adalah leluhur mayoritas masyarakat Kampung Pulo. Karenanya, penduduk setempat menyebut Arief Muhammad “Eyang Mbah Dalem Arief Muhammad”.

Berdasarkan penelusuran silsilah beliau yang kami temukan di museum Cangkuang, beliau masih keturunan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dari putri beliau Sayyidah Fatimah Zahra yang hidup sekitar abad ke-9 masehi atau sekitar tahun 800-an masehi. Artinya, kurang lebih 200 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. 

Itulah sebabnya kita tidak akan pernah menemukan tokoh ini didalam daftar penduduk yang dibuat pemerintah kolonial tahun 1625 karena beliau hidup sekitar tahun 800-an.

Posisi makam Syekh Dalem Arief Muhammad di Kampung Pulo terletak pada dataran paling tinggi, yang menandakan semasa hidupnya beliau adalah orang yang disegani. 

Bila menurut silsilah yang ada di Musium Candi Cangkuang,  Syekh Arief Muhammad adalah keturunan ke-8 dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dari cucu beliau Imam Husen yang berputra Imam Ali Zaenal Abidin atau Syekh Jenal Abidin berputra Syekh Mashur berputra Syekh Masajid berputra Sultan Arif berputra Sultan Syekh Maulana Maghribi berputra Sultan Arif Muhammad, Sultan Arif Muhammad inilah yang dikatakan sebagai Dalem Arif Muhammad.

Dalam urutan silsilah terlihat bahwa Syekh Arief Muhammad hidup sekitar tahun 800-an Masehi, yang artinya beliau hidup dan memimpin wilayah Cangkuang dan sekitarnya kurang lebih 1200 tahun yang lalu, dan yang terpenting adalah dengan penelusuran tokoh Arief Muhammad ini, melalui silsilah yang ada kita mengetahui bahwa 1200 tahun yang lalu Islam telah menjadi agama resmi wilayah ini dengan tokoh wali-wali muslim sebagai pemimpinnya. Jabatan kepemimpinan ini dapat dilihat dari gelar Almarhum yang sudah melekat dengan nama beliau, seperti yang kami temukan di wilayah ini, gelar Dalem, Sunan dan sebagainya.

Untuk mengetahui masa hidup beliau, karena Dalem Arief Muhammad masih keturunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, melalui silsilahnya kami membandingkannya dengan keturunan Rasulullah yang lain juga menjadi Imam besar bagi para pengikut ajaran keluarga nabi pada masanya, yaitu Imam Muhammad al Jawad yang hidup antara 817-842 Masehi.

Berikut adalah urutan perkiraan tahun dari nama yang kami peroleh dari silsilah Dalem Arif Muhammad di atas :
1. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, yang hidup antara 570-632 Masehi.
2. Fatimah hidup antara 605-632 dan Sayidina Ali, yang hidup antara 600-661 Masehi.
3. Imam Husen yang hidup antara 625-681 Masehi.
4. Syekh Jenal Abidin atau Imam Ali Zaenal Abidin yang hidup antara 658 - 713 Masehi.
6. Syekh Mashur, salah seorang putra dari imam Ali Zaenal Abidin, hidup satu masa dengan Imam Muhammad al Bagir-juga salah seorang putra Imam Ali Zaenal Abidin yang hidup antara 676-732 Masehi.
7. Syekh Masajid, satu masa dengan putra imam Muhammad al Bagir ; Imam Ja’far as Shadiq yang hidup antara 702-765 Masehi.
8. Sulthan Arif, satu masa dengan putra imam Ja’far as Shadiq ; Imam Musa al Kadhim yang hidup antara 750 - 805 Masehi.
9. Sulthan Syeh Maulana Maghribi, satu masa dengan putra Imam Musa al Kadhim dan Imam Ali ar Ridho yang hidup antara 770 - 825 Masehi.
10. Sulthan Arif Muhammad, satu masa dengan putra Imam Ali ar Ridho dan Imam Muhammad al Jawad yang hidup antara 817 - 842 Masehi.
Selain makam Arif Muhammad, di Kampung Pulo ini juga terdapat ratusan makam kuno lain yang tersebar di berbagai wilayah di Kampung Pulo ini. Dan seperti pada umumnya pemakaman pada masa itu, setiap makam memiliki bangunan makam atau cungkup makam yang berbentuk persis sama dengan yang kita kenal sebagai Candi sekarang. Bangunan makam atau cungkup makam ini pada umumnya terbuat dari bata atau batu andesit atau yang lebih dikenal dengan batu candi atau batu alam yang terdapat di sekitar lokasi makam.

Pangadegan adalah nama salah satu desa di wilayah Garut. Sunan atau Susuhunan adalah gelar yang merujuk pada penguasa monarki, meskipun digunakan kaum bangsawan penggunaannya juga ditujukan kepada orang yang dihormati. Gelar ini berasal dari bahasa Jawa Kuno susuhunan yang berakar dari kata suhun. Istilah "susuhunan" dapat diartikan sebagai "junjungan", pertanyaannya adalah siapa nama Sunan Pangadegan yang dimakamkan di tempat ini? 

Bila kita pehatikan dari dekat, situs makam Sunan Pangadegan dibuat dari batu andesit dengan bentuk makam punden berundak. Punden berundak adalah bangunan makam ciri khas leluhur Sunda.


Peta Lokasi Cagar Budaya Candi Cangkuang
(Sumber Photo: Musium Situ Candi Cangkuang)

Nama dan Tokoh Leluhur Cangkuang
(Sumber Photo: Musium Situ Candi Cangkuang)

Dengan melihat nama-nama diatas, dapat diketahui bahwa mereka bukan sekedar penduduk biasa apalagi pelarian atau buronan dari Mataram. Namun, kedudukan mereka adalah para pemimpin dan ulama yang dimakamkan di Cangkuang.  Masih banyak makam-makam kuno lain yang tanpa nama.

Lokasi Makam Sunan Pangadegan dekat Pohon di Situs Candi Cangkuang Garut

Lokasi Makam Sunan Pagadegan di Situs Candi Cangkuang Garut

Situs Makam Wiradijaya di Candi Cangkuang Sebelum Direnovasi
(Sumber Photo : Musium Candi Cangkuang)

Makam Wirabaya di Candi Cangkuang Sebelum Direnovasi
(Sumber Photo : Musium Candi Cangkuang)




Silsilah Awal Keturunan Timbanganten
Silsilah asal-muasal pohon keturunan Timbanganten berdasarkan buku Jati Sampurna Sumedang, awal mulanya dapat diterangkan dalam pohon silsilah berikut ini :



 




























Keluarga Bangsawan Timbanganten muncul sejak Dalem Pasehan menjadi Ratu di Kadaleman Timbanganten. Wilayah Kadaleman Timbanganten sekarang mencakup wilayah Kecamatan Tarogong Kaler dan Kidul, Samarang, Leles dan Kadungora (Cikembulan).
Dalem Pasehan adalah mertuanya Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi menikahi anaknya bernama Nyi Ratna Inten Dewata dalam sejarah ada juga yang menyebutnya Nyi Anten sedangkan dalam Buku Babon Cipancar Sumedang beliau mempunyai nama Halimah. 
Sewaktu menjadi Raja, Dalem Pasehan alias Surya Jaya Kusuma menyandang gelar Sunan Permana di Putang. Di akhir hayatnya, ia kemudian menjadi pertapa dan "menghilang" atau tilem di Gunung Satria sementara versi Babad Silsilah Para Bupati Bandung Sunan Permana di Puntang yang dimakamkan di Dayeuh Manggung yang berada di lereng Gunung Cikuray.
Sebagai pengganti Ratu Intan Dewata adalah anaknya yang bernama Sunan Dayeuh Manggung yang dimakamkan di Dayeuh Manggung. Sunan Dayeuh Manggung wafat dan digantikan anaknya, Sunan Darma Kingkin yang makamnya di Muara Cikamiri.  Sunan Derma Kingkin sebagai Nalendra terakhir di Kerajaan Mandala di Puntang, memindahkan kerajaan dari Panembong di Kecamatan Bayongbong ke daerah Timbanganten di kaki Gunung Guntur, yang berada di Kecamatan Tarogong saat ini, hingga akhirnya berganti nama menjadi Kerajaan Timbanganten.
Setelah Sunan Darma Kingkin meninggal, maka Sunan Ranggalawe, putranya yang menggantikan dan beribukota di Korwabokan. Kemudian setelah Sunan Ranggalawe, berturut-turut yang menjadi Ratu di Timbanganten adalah Sunan Kaca (adik Ranggalawe), Sunan Tumenggung Pateon (menantu Sunan Kaca atau putra Sunan Ranggalawe), Sunan Pari (Ipar Sunan Pateon), Sunan Pangadegan (adik Sunan Pateon) yang dimakamkan di Pulau Cangkuang.
Sunan Pangadegan meninggal, maka yang menggantikan adalah Sunan Demang. Sunan Demang sendiri meninggal (dibunuh) di Mataram, dan penggantinya adalah Sunan Sanugiren (kakak Sunan Demang). Selanjutnya yang menggantikan Sunan Sanugiren, putranya Demang Wirakrama. Demang Wirakrama setelah meninggal dimakamkan di Sarsitu dan digantikan oleh putranya, Raden Demang Candradita yang dikemudian hari menjadi penghulu Bandung, meninggal di Cikembulan dan dimakamkan di Tanjung Kuning. kakak Raden Demang Candradita, Raden Demang Ardi Sutanagara alias Tumenggung Ardikusumah menjadi Dalem di Bandung dan setelah meninggal dimakamkan di Astana Tenjolaya Timbanganten.

Pengganti Demang Ardi Sutanagara alias Tumenggung Ardikusumah adalah Dalem Tumenggung Anggadireja (ke 1), setelah meninggal dikenal dengan sebutan Sunan Gordah, Timbanganten. Pengganti Sunan Gordah, putranya bernama Raden Inderanagara dan bergelar Tumenggung Anggadireja (ke 2), ketika meninggal dimakamkan di Astana Gordah Cireungit Torogong Garuut.. Tumenggung Anggadireja meninggal digantikan putranya, Raden Anggadireja yang bergelar Dalem Adipati Wiranatakusumah, Dalem Adipati Wiranatakusumah (ke 1) meninggal dan dimakamkan di pinggir mesjid Dayeuh Kolot Bandung. Selanjutnya sebagai pengganti adalah putranya Dalem Dipati Wiranatakusumah (ke 2).

Dalem Dipati Wiranatakusumah (ke 2) meninggal, maka yang menggantikan adalah putranya Raden Naganagara serta bergelar Dipati Aria Wiranatakusumah (ke 3). Dipati Aria Wiranatakusumah (ke 3) digantikan putranya, Raden Rangga Kumetir alias  Raden Rangga Kartanagara alias Raden Suria Kartadiningrat  dan bergelar Dalem Adipati Aria Wiranatakoesoemah (Ke 4).  Sewaktu Dalem Adipati meninggal yang menggantikan adalah saudaranya, bernama Raden Kusumahdilaga dan dikemudian hari ia bergelar Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga atau Dalem Bintang.

Adapun silsilah keturunan Wiratanakusumah Para Bupati Bandung,  dapat dituliskan sebagai berikut :
Dalem Pasehan lahir di "Mandala Puntang", adalah mertua Prabu Sribaduga Jaya Dewata (Prabu Siliwangi), Raja Pakuan Pajajaran Bogor ke-2 (1478 – 1521). Prabu Panggung Pakuan Dalem Pasehan, dalam Babon Jati Sampurna Cipancar bernama Pangeran Surya Jaya Kusuma alias Raden Abun keturunan Cipancar Hilir Sumedanglarang dan Cipancar Girang Limbangan, yang dimulai ketika kerajaan Galuh burak dimasa Prabu Purbasora (lihat denah silsilah diatas). 

Generasi ke 1
1. Prabu Panggung Pakuan Dalem Pasehan alias Prabu Permana Di Putang alias Prabu Surya Jaya Kusuma Raja Timbanganten (Torogong Garut sekarang),  antara abad ke 15-16 Masehi, yang meninggal di Mandala Di Putang adalah sejaman dengan Prabu Tirta Kusuma (Sunan Tuakan) Kerajaan Sumedanglarang, masa pemerintahan  (1237 – 1462 M),  yang sama salah satu putranya dipersunting Prabu Jayadewata alias Prabu Siliwangi yaitu Ratu Raja Mantri. 

Prabu Panggung Pakuan Dalem Pasehan alias Prabu Permana Di Putang alias Prabu Surya Jaya Kusuma alias Raden Abun, dari Kerajaan Timbanganten Garut dari isterinya Puspita Kencana, putranya Kusuma Jaya Diningrat dari Kerajaan Sumedanglarang, mempunyai anak :
1.1  Ratu Inten Dewata  alias Halimah, makamnya di Pasir Astana Cipancar Limbangan Garut. 

Generasi ke 2
1.1 Nyi Raden Halimah alias Ratu Inten Dewata alias Nyi Anten alias Ratu Anten, dipersunting oleh Pamanah Rasa alias  Prabu Sribaduga Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi, mempunyai anak  :
1.1.1 Santen Rama Dewa (Sunan Dayeuh Manggung), adalah orang yang pertama memeluk agama Islam, dimakamkan di Pasir Astana Cipancar Limbangan Garut. 
1.1.2 Sunan Gordan  makamnya di Pasir Astana Cipancar Limbangan Garut.
1.1.3 Siti Maemunah


Generasi ke 3

1.1.1 Santen Rama Dewa (Sunan Dayeuh Manggung), menikah dengan Nyi Rd. Kurniasih, mempunyai anak :
1.1.1.1  Sunan Darma Kingkin (Sunan Rama Kingkin), makamnya di Suniasugih muara sungai Cikamiri - Cihanyir Timbanganten, keterangan lain menyebutkan Sunan Darma Kingkin wafat di Cirebon dibunuh oleh utusan Mataram, jenasahnya dikebumikan dekat RSUD Garut, berputra :
1.1.1.1.2 Deden Sunata (Samadora), makamnya di Kampung Nagrag, Cipeujeuh Limbangan
 

1.1.2 Sunan Gordan menikahi Nyi Rd. Kartika, mempunyai anak :
1.1.2.1 Sunan Rangga Lawe, dimakamkan di muara Cikamiri RSU Garut.
1.1.2.2 Sunan Patinggi
1.1.2.3 Sunan Rumenggong alias Rakean Layaran Wangi, Pendiri Kerajaan Kartarahayu Galih Pakuan Limbangan.
1.1.4 Sunan Kaca (adik Ranggalawe), ditawan oleh Mataram dan dibuang ke Betawi.

Generasi ke 4
1.1.2.1 Sunan Ranggalawe, mempunyai anak :
1.1.2.1.1 Sunan Tumenggung Mataoen alias Sunan Pateon (menantu Sunan Kaca).
1.1.2.1.2 Sunan Pari (ipar Sunan Mataoen alias Sunan Pateon), dimakamkan di Samarang Garut.
1.1.2.1.3 Sunan Pangadegan, dimakamkan di Pulau Cangkuang, Leles Garut.


Generasi ke 5
1.1.2.1.3 Sunan Pangadegan  (Ratu Timbanganten), mempunyai anak :

1.1.2.1.3.1 Dalem Demang Aria Kusumah Wiradipoera (Sunan Sampireun), makamnya di Dayeuh Handap Samarang Garut.
1.1.2.1.3.2 Dalem Demang Jaya Kusumah Wirapati (Sunan Demang), meninggal di Mataram dan dimakamkan di belakang RSUD Garut.

Generasi ke 6
1.1.2.1.3.1 Dalem Demang Aria Kusumah Wiradipoera (Sunan Sampireun / Sanugireun), mempunyai anak :
1.1.2.1.3.1.1 Dalem Wirakrama - Timbanganten, dimakamkan di Sarsitu
1.1.2.1.3.1.2 Dalem Wirakoesoemah, dimakamkan di Timbanganten

Generasi ke 7
1.1.2.1.3.1.1 Dalem Wirakrama - Timbanganten, mempunyai anak :
1. Tmg. Ardikusumah (Rd. Ardi Wiranata), Bupati Bandung ke II  (1681-1704)
2. Demang Rd. Tjandra Dita  (Sunan Tendjolaya), yang di kemudian hari menjadi Penghulu Bandung. meninggal di Cikembulan dan dimakamkan di Tanjung Kamuning Timbanganten (Torogong).


Generasi ke 8
1. Tmg. Ardikusumah (Rd. Ardi Wiranata), Bupati Bandung ke II, 1681-1704,
mempunyai anak :
1.1 Dalem Demang Anggaredja (Dalem Gordah) / Tmg. Anggadireja I
1.2 Rd. Bradjajoeda
1.3 Rd. Brajadiraksa
1.4 Rd. Pradjadiraksa
1.5 Rd. Pradjadinata
1.6 Rd. Branadinata
1.7 Rd. Pranadinata
1.8 Nyai Rd. Soemakaraton






Generasi ke 9

2.1 Dalem Demang Anggaredja (Dalem Gordah) / Tmg. Anggadireja I, Bupati Bandung ke III (1704-1747), beristerikan Nyi Rd. Karawitan, putrinya Rd. Tmg Wiraangun-angun (Ki Astamanggala) Bupati Bandung I , 1641-1670, mempunyai anak :
1.1.1 Rd. Tmg. Anggadiredja II
1.1.2 Rd. Demang Naranata
1.1.3 Rd. Rangga Bradjakoesoemah
1.1.4 Rd. Rangga Djajanagara
1.1.5 Rd. Bradjamanggala
1.1.6 Rd. Poespajoeda
1.1.7 Rd. Raksadikoesoemah
1.1.8 Rd. Nataparadja
1.1.9 Rd. Lindranata
1.1.10 Rd. Soeradiredja
1.1.11 Rd. Soeradipoera
1.1.12 Nyi Rd. Banten
1.1.13 Nyi Rd. Bandjar
1.1.14 Nyi Rd. Pantjanagara
1.1.15 Nyi Rd. Mantri
1.1.16 Nyi Rd. Paradjanagara
1.1.17 Nyi Rd. Hoenon





Cag, urang teundeun di handeuleum sieum, urang tunda di hanjuan siang. Paranti nyokot ninggalkeun. 


Catatan: penomoran silsilah dimulai dari Dalem Bandung dimulai dari Tmg. Ardikusumah, Bupati Bandung ke II : 1681-1704

Sumber :
1. Babon Silsilah Jati Sampurna Cipancar Girang Sumedang (Medang Kamulyan) dan Cipancar Girang Limbangan. 
2. Tulisan Tangan Rd. Haroen Soeria Adiningrat tahun 1940, "Naskah Asli Babon Silsilah Keturunan Sumedang" Musium YPS Sumedang.
3. Wawacan Timbanganten.
4. Silsilah Limbangan Garut.



Posting Komentar

0 Komentar