Ticker

6/recent/ticker-posts

Silsilah Nenek Masinten Soerialaga

Adapun silsilah Nenek Masinten dari Garis Ibu berdasarkan buku Jati Sampurna Cipancar Sumedang, dan Sejarah keturunan Para Bupati Galuh Imbanagara, dan silsilah yang menurunkan ke Gending Sumedang, adalah sebagai berikut :  

Generasi ke 1
1. Prabu Raga Mulya Surya Kencana alias Prabu Nusiya Mulya alias Panembahan Pulosari (1567 - 1579) beristerikan NM. Oo Imahu (Harom Muthida), mempunyai anak :
1.1. Imas Harim Hotimah, makamnya di Bogor.
1.2. Imas Sari Atuhu (Buyut Eres), makamnya di Kampung Cijambe Desa Haurkuning Kecamatan  Paseh, diperisteri oleh Santoan Awiloear (Pangeran Bungsu)
1.3. Sastra Pura Kusumah (Sutra Bandera), makamnya di Sagara Manik, Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan.
1.4. Istihilah Kusumah (Sutra Umbar) atau sering disebu Mbah Ucing, makamnya di Tajur Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan.
1.5. Imas Roro / Kokom Ruhada (Buyut Lidah), makamnya di Kampung Cijambe Desa Haurkuning Kec. Paseh, Sumedang, diperistri oleh Pangeran Rangga Gede (1625–1633).
1.6. NM. Suniasih (Euis Suntana) - makamna di Sagara Manik Desa Cipancar, Kecamatan Sumedang Selatan.

Generasi ke 2
1.2 Imas Sari Atuhu (Buyut Eres), diperisteri oleh Pangeran Bungsu (Santowan Awiluar) putra bungsu Pangeran Santri dan Ratu Setyasih atau Ratu Pucuk Umun Sumedang., berputra :
1.2.1 Rd. Iman Hotib
1.2.2 N.Rd. Sulhalimah
1.2.3 Rd. Abdul Hosibah





Makam Pangeran Bungsu (Santowan Awiluar) berlokasi di Cisarua Kecamatan Cimalaka, beliau putra paling Bungsu Pangeran Santri (Raden Solih) dan Ratu Pucuk Umun Sumedanglarang  (Ratu Inten Dewata), masa Pemerintahan 1530 – 1579 M.

Pangeran Bungsu (Santowan Awiluar), adalah seorang anak raja yang merakyat, banyak jasanya dalam berdakwah tapi tidak menonjolkan bahkan makamnya pun berjauhan dengan makam-makam raja-raja leluhurnya, ini menunjukan kejuhudannya dan kesufiannya beliau. Pangeran Bungsu (Santowan Awiluar) adalah anak bungsu dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun (Ratu Dewi Inten Dewata).

Pangeran Bungsu (Santowan Awiluar) adalah anak terakhir dari enam bersaudara, yaitu : Prabu Geusan Ulun (Rd. Angkawijaya), Kiai Rangga Haji, Kiai Demang Watang Walakung, Santowan Wirakusumah, Santowan Cikeruh dan Santowan Awiluar.
                                            

Generasi ke 3
1.2.2 N.Rd. Sulhalimah, diperisteri oleh Raden Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol), putra Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya, berputra :
1.2.2.1 Rd. Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II), menurunkan ke Tanggerang
1.2.2.2 Rd. Mangun Rana, menurunkan di Sumedang.
1.2.2.3 Rd. Tampang Kill, menurunkan di Sumedang.
1.2.2.4 NR. Soemalintang atau NR Ajoemajar atau RA Soedarsah, diperisteri oleh Pangeran Koesoemadiningrat (Pangeran Koesoema Diningrat)
1.2.2.5 NR. Mustawiyah, diperisteri oleh Penghulu Legok Sumedang. menurunkan di Sumedang.
1.2.2.6 NR. Mariah atau Nyi Gedeng Murda diperisteri oleh Rd. Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsar (1636-1678 M), menurunkan ke Imbangara Kabupaten Ciamis.


Dipati Rangga Gempol Pada Masa Sumedang Pada Masa Pengaruh Mataram (1601-1625) 
Kerajaan Sumedang Larang berakhir akibat pengaruh Mataram sehingga sistem pemerintahan keprabuan diganti dengan sistem pemerintahan kebupatian walaupun secara de facto masih dengan sistem kerajaan. Mataram bergabung dengan Cirebon pada tahun 1595, Sultan Agung Mataram membagi-bagi wilayah menjadi beberapa daerah, setiap daerah dipimpin oleh seorang bupati. Hal tersebut, menunjukkan bahwa munculnya Kesultanan Mataram membawa pengaruh besar terhadap  kehidupan, terutama dalam tatanan pemerintahan.

Pada tahun tahun 1601 Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Kusumadinata II nalendra yang memerintah dari tahun 1578 sampai tahun 160q, sebelum wafat di tahun 1910, Prabu Geusan Ulun membagi wilayah Sumedang Larang menjadi dua bagian. Belahan Barat diserahkan kepada Pangeran Aria Soeriadiwangsa (putera dari Harisbaya) beribu kota di Tegalkalong dan belahan Timur diserahkan kepada Pangeran Rangga Gede  (putra  dari Ratu Cukang Gedeng Waru) dengan ibu kota Canukur.

Sepeninggal Prabu Geusan Ulun terjadi beberapa perubahan penting dalam status pemerintahan dan kewilayahan. Hal ini terjadi berkait dengan semakin menguatnya kesultanan Mataram.

Mengenai semakin menguatnya kesultanan Mataram perlu dijelaskan sebagai berikut. Pada tahun 1614 VOC mengirimm utusan ke Mataram, yang waktu itu diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645), putera Sultan Seda Krapyak (1602-1613). Kepada utusan VOC ini Sultan Agung menyampaikan pretensi (pretension yang artinya making of claim to something) yaitu klaim bahwa seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon berada di bawah kekuasaannya.

Meskipun pretensi Kesultanan Mataram ini merupakah klaim sepihak, hal itu membuat Raden Suriadiwangsa “ketakutan”. Jika tidak memosisikan diri sebagai kerajaan bawahan, Raden Suriadiwangsa khawatir Kesultanan Mataram akan menyerangnya. Itulah antara lain yang mendorong Pangeran Soeriadiwangsa atas kemauan sendiri pada tahun 1620 datang ke Mataram menemui Sultan Agung untuk menyatakan pengakuan bahwa Sumedang menjadi bawahan Mataram.

Kedatangan Pangeran Soeriadiwangsa (Dipati Rangga Gempol) ini disambut baik oleh Sultan Agung. Konon, karena “ketulusan hati” Pangeran Suriadiwangsa yang mengakui hegemoni Kesultanan Mataram inilah, wilayah yang dikuasai oleh Pangeran Soeriadiwangsa dinamai “Prayangan” (berarti “tulus-ikhlas”); selanjutnya menjadi Priangan. Peranghargaan atas kedatangan Pangeran Soeriadiwangsa dan ketulusan hatinya mengakui hegemoni atas Mataram, Sultan Agung memberi gelar Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. (selanjutnya lebih popular dengan sebutan Rangga Gempol I). Status Sumedang pun berubah, tidak lagi sebagai kerajaan, tapi sebagai  yang menjadi bagian dari Kesultanan Mataram. Dengan demikian, Pangeran Soeriadiwangsa pun tidak lagi sebagai raja, tapi sebagai Dipati dengan gelar Dipati Rangga Gempol. Begitu juga wilayah-wilayah yang semula menjadi bawahan Sumedanglarang diberi status sebagai kabupaten, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Dipati. Akan tetapi posisi Dipati Rangga Gempol, selain sebagai Dipati yang memimpin pemerintahan Kabupaten Sumedang, juga sebagai kordinator para Dipati lainnya yang ada di wilayah Priangan, yang dikenal dengan istilah Bupati Wedana Priangan. 

Pada tahun 1620 Sultan Agung mendeklarasikan pretensi Mataram dengan mengklaim bahwa pulau Jawa berada dalam wilayah Kesultanan Mataram. Pretensi tersebut menimbulkan reaksi keras dari Sultan Banten, karena tidak akan membiarkan daerah-daerah taklukannya jatuh ketangan pihak lain. Sejak itulah terjadinya permusuhan Banten dengan Mataram, sedangkan daerah-daerah yang menolak pretensi menjadi sasaran militer Mataram.

Tentara Mataram dibawah pimpinan panglima perang Dipati Wangsanata menyerbu Kerajaan Pajang Madura, namun serbuan Mataram ke satu dan kedua gagal. Lalu Sultan Agung mengalihkan perhatian ke belahan barat untuk merebut pelabuhan besar Nusa kalapa. Raja-raja kecil berdatangan ke Mataram untuk menyatakan diri menjadi negeri bawahan Mataram. 

Pada tahun 1624, Pangeran Aria Soeriadiwangsa pergi ke Mataram untuk menyatakan diri  bahwa Sumedang menjadi bawahan Mataram secara tulus hati. Pernyataan tersebut dikenal dengan istilah "Prayangan", kemudian Sultan Agung mengangkat Pangeran Aria Soeriadiwangsa menjadi Dipati Rangga Gempol Sumedang merangkap Wedana Priangan dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata I, dengan ibukota Priangan di Tegalkalong Sumedang. Wilayah Priangan tersebut meliputi daerah Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang, dan Ukur Bandung. 

Selain itu pada tahun 1624 Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata mendapat tugas dari Sultan Agung untuk menaklukkan Sampang, Madura.  Berangkatlah Pangeran Aria Soeriadiwangsa dengan membawa pasukan dalam jumlah besar didukung oleh 1000 personilnya, sehingga penduduk Sumedang berkurang (Corengcang), pemerintahan dijabat oleh Pangeran Rangga Gede. Pasukan Sumedang bergabung dengan pasukan Mataram menduduki daerah perbatasan Sampang. Kedatangan pasukan Sumedang menimbulkan keresahan penduduk dan suhu politikpun semakin memanas. Pangeran Mas Raja Sampang dengan istrinya melarikan diri, namun ditangkap di Kediri kemudian dibunuh oleh pasukan Mataram.

Bupati Bolo (Bupati Sampang) mengambil alih kepemimpinan karena penguasa Sampang telah tewas, selanjutnya memanggil Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol I) untuk mengadakan perundingan damai. 

Dalam perundingan tersebut, Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) berkomunikasi dengan Bupati Sampang diketahui bahwa mereka adalah bersaudara; bahkan bupati Sampang Madura ini tingkatannya lebih muda, karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Dipati Rangga Gempol) masih ada darah keturunan Pajang yaitu ibunya Ratu Harisbaya darah keturunan Sampang, ternyata mampu menyelesaikan konflik tanpa menempuh peperangan.  Oleh karena itu, Bupati Sampang Madura menyatakan ketundukannya kepada Pangeran Dipati Rangga Gempol.

Setelah Sampang Madura menyatakan ketundukannya, Sultan Agung tidak memperkenalkan Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Dipati Rangga Gempol) kembali ke Sumedang, karena akan dicalonkan menjadi panglima perang dalam rangka mengusir Kompeni yang bercokol di Batavia. Prajurit Sumedang ditempatkan di Kampung Bembem. Namun mendapat reaksi dari pihak-pihak yang tidak puas, bahkan muncul tudingan bahwa Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Dipati Rangga Gempol) anak emas Sultan Mataram berniat makar kepada Sultan Agung.







Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) diculik kemudian dipenggal lehernya dan dimakamkam di tiga lokasi yang berbeda, yaitu :
1. Makam Kepala Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) di di Blunyah Gede Kabupaten Sleman.
2. Makam Badan Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) di Jalan Krasak Kotabaru di Imogiri Jogjakarta. 
3. Makam Tangan dan Kaki Rd. Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) di Lempuyangan Jogjakarta.
(Cataran : lahirna Pangeran Soeriadiwangsa tahun 1554, meninggal tahun 1625, masa pemerintahan di Sumedang antara 1601 - 1624 = 23 tahun)

Setelah Pangeran Rangga Gempol wafat, Sultan Agung mengangkat Pangeran Rangga Gede menjadi Bupati Sumedang merangkap Wedana Priyangan. Pengangkatan Bupati tersebut, menimbulkan reaksi  Raden Kartajiwa (putra Pangeran Soeriadiwangsa), tidak menyukai Sumedang berkiblat ke Mataram karena ayahnya dibunuh oleh orang Mataram. 

Oleh karena itu, Rd. Kartajiwa (Soeriadiwangsa II) menghasut para pengagung Sumedang, kemudian ditangkap oleh Pangeran Rangga Gede, pada saat hendak dijatuhi hukuman meloloskan diri ke Banten dan meminta suaka politik  kepada Sultan Banten (Sultan Ageng Tirtayasa), dengan janji akan menyerahkan sebagian wilayah Sumedang kepada Sultan Banten, kemudian Rd. Kartajiwa membuat kekacauan di tepi barat sungai Citarum untuk memancing reaksi  Sumedang dan Mataram.

Sultan Agung Mataram memanggil Pangeran Rangga Gede untuk diminta pertanggungjawaban atas terjadinya kekacauan di daerah tepi barat sungai Citarum, bahkan dituduh membiarkan kekacauan, kemudian dijatuhi hukuman penjara. Untuk mengisi kekosongan jabatan, mengangkat Wangsanata  menjadi Wedana Priangan dengan gelar Dipati Ukur (1527 – 1632 M). 

Pada tahun 1628, Dipati Ukur mendapat perintah perang dalam rangka serbuan Mataram ke Batavia. Wedana Priangan ini membawa pasukan Ukur Bandung yang di dukung oleh pasukan Sumedang, Sukapura, dan Parakanmuncang. Pasukan Dipati Ukur menyerbu benteng pertahanan Kompeni dengan menghancurkan gudang-gudang beras dan senjata. Serbuan Mataram pertama ini gagal karena persenjataan tidak seimbang, selain itu, panglima perang Tumenggung Bahureksa dibunuh oleh temannya sendiri akibat perbedaan paham.

Pada tahun 1629, Mataram melakukan serbuan kedua ke Batavia, namun tidak didukung oleh pasukan Ukur Bandung, sedangkan Kompeni menambah armada tempurnya, sehingga perang tidak seimbang sehingga Mataram tidak berhasil lagi dalam merebut Batavia. Sultan Agung Mataram mengutus Umbulnya untuk menyampaikan surat panggilan kepada Dipati Ukur. Kedua utusan itu disambut oleh siaga senjata, bahkan telinganya dipotong. Tindakan Dipati Ukur dianggap pelecehan terhadap Mataram. Maka Sultan Agung memerintahkan kepada panglimanya agar menangkap Dipati Ukur, tetapi tidak ada yang sanggup menangkapnya. Karena itulah, Sultan Agung membebaskan Pangeran Rangga Gede dengan syarat harus menangkap Dipati Ukur. Lalu Pangeran Rangga Gede membawa Pasukan Sumedang bergabung dengan Pasukan Mataram, mengepung Pendopo Ukur Bandung, tetapi Dipati Ukur lolos dari kepungan, bersembunyi di  Gunung Lumbung.  Pangeran Rangga Gede meninggal dunia di Citepus dalam perjalanan menuju pulang pada saat tidak berhasil menangkap Dipati Ukur.

Buku ‘Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië, 1914’ yang ditulis oleh N.J. Krom menyatakan bahwa pada tahun 1833 seorang zoolog dan ahli botani berkebangsaan Jerman, anggota en : Natuurkundige Commissie voor Nederlands-Indië (Komisi Pendidikan Fisika Hindia Belanda) yang bernama Salomon Müller datang ke Gunung Lumbung. Bersama dengan Pieter Van Oort, ia mendapatkan cerita dari sesepuh disana tentang sosok Dipati Ukur hingga tempat peninggalannya. Menurut orang tua tersebut, Gunung Lumbuh adalah pertahanan terakhir Dipati Ukur.

Setelah terdesak dan berhasil ditangkap, Dipati Ukur dibawa ke Mataram dan menemui ajalnya. Terkait akhir sang penguasa Tatar Ukur tersebut, ada banyak versi eksekusi dan tokoh yang berjasa dalam mematahkan perlawanannya. Namun yang jelas, sang dipati dihukum mati dan tokoh yang membawanya ke Mataram adalah orang-orang Sunda sendiri. 

Menurut Karel Frederik Holle, penangkap Dipati Ukur adalah tiga umbul dari Priangan Timur, yaitu Umbul Sukakerta (Ki Wirawangsa), Umbul Cihaurbeuti (Ki Astamanggala) dan Umbul Sindangkasih (Ki Somahita). Sedangkan dalam Naskah Dipati Ukur yang ada di Leiden dan ditulis oleh R.A. Sukamandara, disebutkan bahwa sang Dipati ditangkap oleh pasukan yang dipimpin oleh Adipati Kawasen, Bagus Sutapura.


Generasi ke 4
1.2.2.6 Nyimas Ajoe Ibariah atau Nyi Mariah atau Nyi Gedeng Muda (Murda) salah satu putra-putrinya  Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Dipati Rangga Gempol, Bupati Sumedang masa Mataram Mp. 1601 – 1625 M) dinikah oleh Rd. Ujang Purba atau Rd. Panji Aria Jayanegara alias Mas Bongsar (1636 - 1678 M), putra Dipati Imbanagara (1625 - 1630 M), mempunyai anak :
1.2.2.6.1 Rd. Anggapradja (Mas Tumbal)Bupati Imbanagara atau Bupati Galuh Imbanagara ke II (1678-1679)
1.2.2.6.2 Knj Dlm Adp Bpt Imbanagara Angganaja,  Bupati Galuh Imbangara ke III (1679-1693) 
1.2.2.6.3 NM. Koerawoet 
1.2.2.6.4 NM. Galuh menikah dengan Demang Wirasuta (Rd. Ad. Panajoeda I), Bupati Karawang Tahun 1679
1.2.2.6.5 Rd. Angganata I






Latar Belakang Sejarah Imbanagara Versi Cineam
Adipati Panaekan mempunyai isteri 3 dan mempunyai putra 11, diantara isteri yang ada di daerah Kertabumi yaitu kakaknya Dalem Kertabumi. Oleh Adipati Panaekan isteri yang di Kertabumi tidak kebagian waktu (kilir). Oleh sebab itu dia marah dan minta tolong kepada Dalem Kertabumi supaya Suaminya (Adipati Panaekan) dibunuh karena sudah tidak pernah datang (kilir). Semula Dalem Kertabumi idak mau menerima dan tidak bersedia disuruh untuk membunuh Adipati Panaekan, karena oleh kakanya terus-terusan diminta akhirnya Dalem Kertabumi menyanggupi untuk membunuhnya.

Pada suatu waktu Adipati Panaekan kembali dari daerah Galuh menuju ke Garatengah sesampainya di Sungai Citanduy pada penyebrangan ada Dalem Kertabumi yang sengaja mencegat Adipati Panaekan. Dalem Kertabumi tidak berpikir lagi setelah melihat bahwa yang mau menyebrang itu Adipati Panaekan langsung saja ditusuk memakai keris. Adipati Panaekan rubuh dan meninggal, mayatnya dan keris dihanyutkan ke Sungai Citanduy dan nyangkut di Muara Sungai Cimuntur. Kemudian dimakamkan di Bojong Galuh Karang Kamulyan Ciamis.

Kedua pengiring Adipati Panaekan terus berangkat ke Garatengah melaporkan bahwa di Sungai Citanduy Adipati Panaekan ada yang membunuh menggunakan keris. Raden Pandji Boma dan Ki Bagus Kalintu bersama rakyat Garatengah berangkat menuju ke tempat yang dipakai membunuh Adipati Panaekan, sampai ke tempat yang dituju mayatnya sudah tidak ada hanyut di Sungai Citanduy. Bekas Pesanggrahan Adipati Panaekan bersama pengiringnya sekarang oleh masyarakat dianggap sebagai keramat. Pasir itu akhirnya jadi Kampung yang diberi nama Lembur Panaekan sampai sekarang, tepatnya di Kampung Panaekan Desa Ancol Kecamatan Cineam. Terdapat yang disebut sebagai Paesan atau Astana Adipati Panaekan.

Tahun 1625 M Dalem Garatengah diganti oleh putranya Adipati Panaekan yaitu  Raden Dipati Imbanagara. Dalem itu oleh Sultan Mataram ditunjuk dijadikan Bupati Wedana, jadi penasihat Dalem diwilayah Galuh menggantikan Sang Adipati Panaekan ayahnya.

Dipati Imbanagara mempunyai isteri bernama Nyi Gedeng Adi Larang (putra dari Adipati Bandu Jaya / Sunan Bandu Jaya) dari Kadaleman Sudalarang Rancah Ciamis. mempunyai putra 2 bernama :
1. Mas Bongsar atau Raden Jayanagara (Raden Yogaswara)
2. Raden Angganata

Dipati Imbanagara mendapat perintah dari Sultan Mataram untuk mengusir Kompeni / Belanda yang akan menjajah Pulau Jawa, yang markasnya di Yogyakarta. Dari Garatengah tidak dipinta prajurit, yang diperintah harus mengirimkan prajurit hanya dari Dalem Dipati Ukur. Tetapi dari Garatengah juga ada yang mau ikut berangkat ke medan perang yaitu Tumenggung Wirasuta (Tahun 1628 – 1629 M).

Sesudah sampai pada waktu yang ditentukan yaitu tahun 1628 Dalem Dipati Imbanagara disuruh untuk menyiapkan perbekalan dan dikirimkan ke daerah Tawang yang sekarang menjadi Kota Tasikmalaya. Kemudian pada tahun 1629 mengirim kembali perbekalan tapi diperjalanan dirampok (Dikaraman) oleh Kompeni banyak yang dibakar maksud Belanda supaya prajurit Sultan Mataram tidak mempunyai perbekalan (Makanan).

Sesudah Sultan Mataram (Sultan Agung) perang melawan kompeni di Jogyakarta Dalem Dipati Ukur mempunyai maksud ingin melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Mataram, kepada Belanda tidak mau takluk terus mengajak Dalem Garatengah.

Dalem Garatengah setuju lepas dari bawahan Sultan Mataram, kemauan Dipati Ukur supaya cepat-cepat mengadakan pemberontakan, tapi maksudnya sudah tercium dan ketahuan oleh Sultan Mataram bahwa Dipati Ukur dan Dipati Imbanagara akan mengadakan pemberontakan pada Sultan Mataram. Sultan Mataram sangat marah kepada Dipati Ukur dan kepada Dipati Imbanagara, terus memerintahkan prajurit dan para ponggawanya supaya Dipati Imbanagara dihukum mati dipenggal lehernya dan kepalanya dibawa ke Mataram, sebab Dipati Imbanagara mau berontak ke Mataram.

Utusan yang diperintah oleh Sultan Mataram sudah berangkat menuju Garatengah. Sampai di daerah Garatengah, waktu itu Dipati Imbanagara sedang berkeliling ke wilayah kampung-kampung yang ada disebelah utara Sungai Citanduy, dia tidak menyangka bahwa akan dihukum mati oleh utusan dari Mataram.

Utusan Mataram menanyakan kepada Patih dimana Dipati Imbanagara oleh Patih dijawab bahwa Dalem Dipati Imbanagara sedang berkeliling ke Daerah Galuh. Tidak lama kemudian utusan Mataram terus menyusul dan bertemu dengan Dipati Imbanagara. Utusan Mataram tidak berpikir panjang lagi bahwa yang bertemu itu adalah Dipati Imbanagara langsung dibunuh pada waktu itu juga lehernya dipenggal, kepalanya ditempatkan pada Endul yang akan di setorkan ke Sultan Mataram. Sedangkan badanya tergeletak di tempat itu bersimbah darah. Utusan Mataram langsung pulang membawa kepala Dalem Imbanagara.

Patih Garatengah bermusyawarah dengan Jagabaya Paganjuran maksudnya mau menyusul takut Dalem Dipati Imbanagara ketahuan oleh utusan Mataram, padahal kenyataanya Dalem Dipati Imbanagara waktu itu sudah terbunuh.

Patih dan Dalem Paganjuran berangkat menyusul utusan dari Mataram dikarenakan dari Garatengah menyusulnya terlambat sehingga utusan Mataram sudah pergi, jalanya ke sebelah utara Sungai Citanduy. Dari kejauhan terlihat oleh orang Garatengah bahwa yang didepanya itu adalah utusan Mataram terus dikejar maksudnya mau merebut Endul yang dipakai untuk menyimpan kepala Dipati Imbanagara. Utusan Mataram hanya sedikit sedangkan orang Garatengah yang mengejar jumlahnya banyak lantaran dibantu oleh rakyat dari Kampung yang dilewatinya.

Orang Garatengah yang dipimpin oleh Jagabaya Dalem Paganjuran terus mengejar, sudah diketahui bahwa utusan Mataram akan terkejar langsung saja kepala Dalem Dipati Imbanagara dilemparkan ke Sungai Citanduy sedangkan Endulnya dibawa mau disetorkan ke Mataram.

Utusan Mataram kabur tidak berani melawan orang Garatengah yang begitu banyak. Utusan Mataram setelah sampai terus melapor ke Sultan bahwa pekerjaanya telah dilaksanakan. Dipati Imbanagara ketemunya di daerah Galuh. Ditempat itu dibunuhnya, kepalanya dimasukan pada Endul, karena dari Galuh ke Mataram sangat jauh sudah barang tentu kepala Dipati Imbanagara akan bau, berdasarkan musyawarah utusan langsung saja dilemparkan ke Sungai Citanduy supaya jangan ketemu oleh rakyat Galuh dan orang Garatengah. Sebagai saksi ini saja Endul bekas membawa kepala Dipati Imbanagara yang masih ada rambut sedikit yang menempel pada darah sampai kering. Laporan utusan Mataram diterima oleh Sultan.

Kemudian setelah utusan Mataram pergi kepala Dipati Imbanagara yang dilemparkan ke Sungai Citanduy oleh orang yang biasa menyelam (palika) dicari sampai ke dasar Sungai Citanduy tapi tidak ketemu. Lama kelamaan air di Sungai Citanduy tercium bau busuk (Biuk), sehingga nama Sungai tempat mencari kepala Dipati Imbanagara diberi nama Leuwi Biuk.

Sedangkan badan Dipati Imbanagara disimpan ditempat yang luas dan terbuka (lenglang) tempat itu sekarang dinamakan Bolenglang. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1636, jenazah Dipati Imbanagara yang tanpa kepala dimakamkan disuatu tempat yang kemudian diberi nama Gegembung yang artinya Badan Tanpa Kepala.

Daerah tersebut ada disebelah timur Kota Ciamis sekarang. Setelah Dipati Imbanagara meninggal sementara pemerintahan di Kadaleman Garatengah dijalankan oleh Patih Raden Wiranagara. Pada waktu itu yang berhak untuk menggantikan Dalem Dipati Imbanagara adalah Mas Bongsar tapi usianya baru 13 tahun, sehingga diwakilkan kepada Patih.

Patih Raden Wiranagara mempunyai maksud untuk menjadi Dalem, timbul kebencian pada Mas Bongsar yang mempunyai hak jadi Dalem menggantikan ayahnya.

Nyi Geseng Adi Larang ibunya Mas Bongsar sudah mengetahui bahwa putranya dibenci oleh Patih. Lalu menyuruh salah seorang pegawai Kadaleman supaya Mas Bongsar harus segera diungsikan dari Garatengah tapi tanpa sepengetahuan orang lain. Pada suatu waktu kebetulan cuaca cerah dan terang bulan Mas Bongsar oleh pegawai itu malam hari dibawa lolos ke suatu tempat yang disebut Lembur Pawindan dan dititipkan kepada seorang petani yang tinggi ilmunya (jembar pangabisa) yang dibutuhkan oleh semua rakyat.

Mas Bongsar harus diakui anak, namanya juga sementara harus diganti, serta dipinta untuk dididik Agama Islam dan menulis tulisan Jawa. Semua keadaan di Kadaleman Garatengah oleh pegawai tadi kepada petani tadi diterangkan supaya dimengerti dan petani itu harus bisa memegang segala rahasia. Mas Bongsar di Pawindan dididik berbagai macam ilmu jikalau dikemudian hari ada kemungkinan harus memimpin Kadaleman. Petani yang didiami Mas Bongsar, dia adalah orang Galuh yang masih keturunan Raden Galuh, keturunanya masih dekat dengan Dipati Imbanagara. Kurang lebih 3 tahun lamanya Mas Bongsar diungsikan ke Pawindan.

Ke Garatengah datang utusan Mataram menanyakan Mas Bongsar masih hidup atau sudah meninggal, kalau masih hidup dimana sekarang, kalau sudah meninggal dimana kuburanya. Sultan Mataram ingin mengetahui apabila masih hidup Mas Bongsar mau diangkat jadi Dalem garatengah menggantikan Bapaknya.

Sebab dari bukti–bukti yang dikumpulkan kemudian, akhirnya Mataram menyadari kekeliruanya dan timbul penyesalan karena Dipati Imbanagara ternyata sama sekali tidak bersalah, dan menyadari bahwa Dipati Imbanagara menjadi korban fitnah yang tidak pernah dilakukanya.

Patih mendengar dari utusan Mataram bahwa Mas Bongsar akan diangkat jadi Dalem Garatengah merasa menyesal sekali sebab cita-cita ingin menjadi Dalem tidak akan terlaksana. Waktu itu oleh Patih dijawab, bahwa Mas Bongsar sudah 3 Tahun lamanya lolos dari Garatengah tidak tahu ke mana perginya, dicari ke mana mana tidak ketemu. Padahal Patih itu tidak pernah memerintahkan rakyat harus mencari Mas Bongsar.

Patih dan utusan dari Mataram terus menemui Ibu Mas Bongsar, menanyakan ke mana lolosnya, sekarang ada dimana, ini ada utusan dari Mataram maksudnya ingin membuktikan Mas Bongsar masih ada di Garatengah, kalau tidak ada ke mana perginya harus dicari sampai ketemu kalau masih hidup oleh Sultan mau dijadikan Dalem di Garatengah sebagai pengganti Ayahnya.

Ibunya Mas Bongsar mendengar perkataan utusan Mataram kaget dengan rasa gembira bercampur dengan rasa takut. Gembira karena putranya mau diangkat jadi Dalem, sedangkan was-was nya takut putranya ditelaspati (Dibunuh) seperti Ayahnya. Akhirnya Ibunya Mas Bongsar berkata kepada Patih dan utusan Mataram, tunggu paling lama 1 minggu akan mengutus pegawai Kadaleman barangkali ketemu mau dicari apabila masih ada. Terus Ibunya mengutus pegawai untuk menjemput Mas Bongsar serta menjelaskan maksud dan tujuan utusan dari Mataram, malah harus bersama-sama Petani yang didiaminya untuk mengantarkan ke Garatengah. Selanjutnya pegawai Kadaleman berangkat ke Pawindan mau menjemput Mas Bongsar, sampai di Pawindan kebetulan Mas Bongsar sedang ada. Pegawai memberi tahu maksud dijemput itu karena ada utusan dari Kanjeng Sultan Mataram oleh pegawai itu dijelaskan ke Mas Bongsar dan kepada Petani yang didiaminya maksud dan tujuan sehingga harus pulang dahulu ke Garatengah.

Mas Bongsar mendengar perkataan pegawai sebagai utusan Ibunya sama perasaan seperti Ibunya tadi, gembira bercampur rasa takut. Gembira karena akan diangkat jadi Dalem sedangkan rasa takut (was-was) kemungkinan akan dibunuh seperti ayahnya. Pegawai kembali dari Pawindan bersama Mas Bongsar dan petani yang didiaminya, sampai di Garatengah oleh Ibunya dirangkul ditangisi karena rasa rindu. Sesudah rasa kerinduan terkabul dengan disaksikan oleh utusan dari Mataram, oleh Patih, dan oleh Jagabaya Dalem Paganjuran bahwa betul-betul Mas Bongsar yang datang, Putra Dipati Imbanagara Dalem Garatengah.

Mas Bongsar oleh utusan Mataram diberi tahu bahwa dia bakal diangkat oleh Sultan Mataram jadi dalem garatengah. Kemudian utusan Mataram memberi tugas kepada Patih, kepada Jagabaya Dalem Paganjuran serta kepada rakyat menitipkan Mas Bongsar untuk dijaga, karena takut ada yang menganiaya, siapa saja yang berani menganiaya kepada Mas Bongsar kata utusan Mataram bahwa Sultan Mataram akan menjatuhkan hukuman serta keluarga yang menganiaya bakal disuruh untuk pergi dari wilayah Garatengah (Ditudung). Sesudah beres memerintah, utusan Mataram kembali sesampainya di Mataram langsung melapor ke Sultan bahwa Mas Bongsar masih ada dalam keadaan hidup di Garatengah. Semua laporan utusan diterima oleh Sultan serta kemudian utusan Mataram disuruh berangkat kembali ke Garatengah maksudnya membri tahu kepada Mas Bongsar, Patih, dan Jagabaya dalem Paganjuran dan Ibunya bahwa Mas Bongsar harus ikut ke Mataram sekarang juga mau diangkat jadi Dalem. Ibunya menyiapkan persiapan perbekalan yang sekiranya cukup untuk dijalan sampai kembali ke Garatengah. Sampai waktu yang telah ditentuka Mas Bongsar, utusan Mataram, Patih, petani Pawindan, Jagabaya Dalem Paganjuran, berangkat menuju Mataram dengan membawa segala perbekalan yang disimpan pada tempat yang disebut Sumbul. Sampai di Mataram utusan melapor kepada Sultan bahwa Mas Bongsar sudah terbawa dan sampai.

Kanjeng Sultan Mataram sudah mengetahui Mas Bongsar sampai di Mataram terus menasihati dan berbicara bahwa dia akan di lantik dan diangkat jadi Dalem Garatengah. Waktu itu juga Mas Bongsar diangkat oleh Sultan Mataram menjadi Dalem Garatengah, sekitar Tahun 1639 waktu itu Mas Bongsar baru berumur 13 Tahun. Sesudah selesai pelantikan Mas Bongsar jadi Dalem Garatengah oleh Sultan Mataram semuanya kembali ke Garatengah, dan diperjalanan selamat tidak ada halangan apa-apa. Selama menjadi Dalem Mas Bongsar sama sekali belum dapat melaksanakan tugas sebagai mana mestinya. Ia terus menerus dikhianati oleh anak buahnya sendiri, terutama oleh Patih. Sehingga ia pernah mengalami penderitaan pahit. Akan tetapi cobaan yang bertubi-tubi itu selalu dapat diatasinya. Kemudian hari akhirnya pihak Mataram berhasil membongkar kedok si penghianat kepada Mas Bongsar. Orang yang selama ini berkhianat tidak lain adalah Patih Wiranagara sendiri yang pernah menjadi perwalian atas nama Mas Bongsar (Patih yang pernah bercita-cita ingin menjadi Dalem di Garatengah). Patih Wiranagara ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Namun sebelum keputusan hukuman itu dijalankan Mas Bongsar yang berbudi Luhur itu menyatakan pemberian maafnya kepada Patih Wiranagara. Sikap Luhur Mas Bongsar itu telah menimbulkan kekaguman Sultan Mataram. Patih Wiranagara hukumanya hanya disuruh pergi dari wilayah Garatengah oleh Mas Bongsar. Oleh karena itu Sultan Mataram (Sultan Agung) berkenan memberikan gelar kehormatan kepadanya yaitu Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara atau yang disebut Raden Yogaswara. Nama Imbanagara sendiri dipakai menjadi nama Kadaleman atau Kabupaten yang diperintah oleh Mas Bongsar.

Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara (Mas Bongsar) setelah menjadi Dalem perwalianya sementara diserahkan kepada Jagabaya Dalem Paganjuran, setelah dewasa menikah dengan putra Rangga Gempol  (Rd. Aria Soeriadiwangsa) dari Sumedang yang bernama  Nyi Ajoe Ibariah.  Setelah 5 Tahun jadi Dalem Garatengah mempunyai maksud untuk memindahkan Pusat Kadaleman Garatengah, dikarenakan kalau mengadakan hubungan ke tetangga Kadaleman menjadi susah jalanya (Belot jalan ) ditambah sudah ada 2 kali kejadian 2 Dalem yang mati dibunuh yaitu Sang Adpati Panaekan dan Dipati Imbanagara.

Kemudian mengadakan musyawarah di Kadaleman Garatengah kesimpulannya mupakat, terus Mas Bongsar melaporkan maksud dan tujuanya ke Sultan Mataram meminta ijin akan memindahkan Pusat Kadaleman Garatengah. Oleh Sultan Mataram diberi ijin malah di beri petunjuk serta diberi saran kalau mau pindah bagaimana kalau ke Kertajaga Binangaun. Mas Bongsar terus kembali dari Mataram sambil melihat-lihat daerah yang akan dijadikan sebagai Pusat Kadaleman yaitu daerah Kertajaga Binangun. Mau membuktikan keadaan tempat di kertajaga cocok atau tidaknya untuk dijadikan pusat Kadaleman. Tetapi setelah dibuktikan kurang cocok sebab masih rumit jalan. (Belot). Terus berangkat dengan pengiringnya menuju daerah Pataruman (Banjar). Terlihatnya cocok sekalai kalau Pataruman dijadikan Pusat Kadaleman Garatengah, untuk hubungan dengan Kadaleman tetangga mudah tidak rumit jalan. Namun sayang keadaan tanahnya masih terlalu lembah, masih sering kebanjiran dari sungai Citanduy dan luas daerah rawa-rawanya.

Kalau waktu itu banjar dijadikan pusat Kadaleman, yang mendiami rawa-rawa yang terkenal dengan nama Nyi Dewi Mayang Cinde akan mengakibatkan semua orang terjangkit penyakit Demam yang mendiami tempat itu. Oleh orang tua yang disebut Nyi Dewi Mayang Cinde itu zaman sekarang disebut Nyamuk Malaria yang bisa menimbulkan dan menularkan penyakit Demam Malaria.

Mas Bongsar kemudian mencari tempat kesebelah utara Sungai Citanduy mencari tempat bekas pada waktu mengungsi. Diaerah tersebut beristirahat dan bermalam, tidak lama kemudian mendapat petunjuk dari yang Gaib bahwa harus menuju ke salah satu tempat yang disebut Barumay sebelah selatan Gunung Ardilaya sebelah utara Sungai Citanduy.

Petunjuk itu oleh Mas Bongsar dilaksanakan, sampai di Barumay terus tempat itu ditelusuri kenyataan tempat tersebut cocok sekali kalau dipakai sebagai Pusat Kadaleman Garatengah.

Sekembalinya ke Garatengah terus bermusyawarah dengan rakyat merencanakan pemindahan Pusar Kadaleman Garatengah ke Barumay, segala keperluan dibarumay sudah dipersiapkan. Kemudian pada hari Selasa Kliwon tanggal 14 Mulud Tahun 1564 Syaka, Tanggal 12 Bulan Juni Tahun 1642 M Kadaleman Garatengah dipindahkan ke Barumay (Imbanagara).

Sementara waktu ada di Barumay masih disebut dengan nama Kadaleman Garatengah. Kemudian Sultan Mataram mengubah nama Kadaleman harus diganti jangan Garatengah, hasil mupakat semua Kadaleman Garatengah namanya diganti menjadi Kadaleman Imbanagara. Sejak itu Cineang ada dibawah Kadaleman Imbanagara. Membawa nama Dalem Dipati Imbanagara sebagai penghormatan.

Kisah Asal-Usul Panoongan Dan Gugurnya Adipati Imbanagara
Jaman dulu kala hiduplah seorang pengrajin batik di sebuah kampung bernama Babakan Nyangked. Sang pengrajin memiliki putri cantik yang bernama Utari. Kecantikan sang putri membuat banyak lelaki jatuh hati padanya.

Para pemuda yang jatuh hati itu lalu membuat lubang pada dinding bilik rumah Utari supaya dapat mengintip pujaan hati mereka kapan saja. Tempat ngintip (dalam bahasa Sunda disebut 'noong') itu kemudian dikenal dengan nama daerah 'Panoongan'.

Kecantikan Utari tersohor di Tatar Galuh. Kabar mengenai kejelitaan parasnya bahkan sampai kepada Sultan Mataram. Saat itu Tatar Galuh adalah sebuah kadipaten dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Raja Mataram lalu mengirim utusan untuk menjemput Utari ke kampungnya.

Utari kemudian diboyong ke ibukota kerajaan Mataram. Entah bagaimana perasaan sang putri kampung diboyong ke ibukota, senang atau sedih menghadapi kenyataan itu, tetapi bagaimanapun sebagai rakyat kecil, Utari dan keluarganya harus patuh pada titah raja. Menurut sumber cerita lain, konon Utari adalah salah satu dari tujuh gadis cantik yang dikirimkan Tatar Galuh sebagai upeti pada penguasa Mataram.

Nasib naas menimpa sang putri dari kampung Babakan Nyangked, ada anggota rombongan utusan Mataram ternyata menaruh hati padanya. Sang utusan yang dimabuk nafsu dunia akhirnya tak dapat menguasai dirinya, bahkan tak lagi menjaga titah rajanya. Ia kemudian menodai Utari dalam perjalanan menuju ibukota Mataram.

Utari sampai di Mataram dalam keadaan sudah tidak tampak cantik lagi, melainkan pucat dan tidak menarik. Boleh jadi kesedihan dan trauma telah menghapus kejelitaan dari paras mukanya. Ia kemudian mengakui bahwa dirinya sudah ternoda dan hal tersebut membuat Sultan Mataram murka.

Sang Raja memaksa Utari untuk mengakui siapa yang menodainya, tapi rupanya sebuah muslihat ancaman dari utusan Mataram yang jahat telah memaksanya membuat pengakuan bohong. Utari menyebut Adipati Imbanagara, penguasa Galuh, sebagai pelaku yang menodainya.

Raja Mataram murka dan memerintahkan pengiriman pasukan untuk menangkap dan membunuh Adipati Imbanagara. Sultan Mataram menganggap penodaan Utari bukan saja perbuatan tercela, tetapi penghinaan luar biasa pada kewibawaan tahta Mataram.

Adipati Imbanagara yang menjadi korban fitnah akhirnya ditangkap dan dibunuh. Tubuhnya secara sadis dipotong-potong dan menimbulkan kegemparan dan rasa marah rakyat Imbanagara. Perlawanan dilakukan rakyat untuk merebut kembali jenazah Adipati Imbanagara.

Jenazah sang adipati akhirnya dapat direbut kembali oleh pihak Imbanagara. Jasad sang pemimpin lalu dimandikan dan dikuburkan. Tempat pemandiannya kemudian disebut "Leuwi Biuk" sementara tempat penguburan potongan tubuhnya disebut "Gegembung". Tempat direbutnya bagian sikut sang adipati disebut "Sikuraja". (ditulis kembali berdasarkan sumber tulisan Miftahul Falah yang merupakan bagian dari buku Sejarah Ciamis, diterbitkan tahun 2005 oleh Pemkab Ciamis dan LPPM Universitas Galuh, Ciamis)


Sejarah Bupati Galuh Imbanagara R.A.A Panji Jaya Nagara (Mas Bongsar) 1642-1678 M 
Imbanagara adalah seorang raja Gara Tengah yang bijaksana, dalam pemerintahannya sangat memperhatikan rakyatnya. Sehingga keadaan Gara Tengah pada waktu itu kerta raharja, gemah ripah loh jinawi, tidak kurang sandang dan pangan. Patih kerajaan pada waktu itu adalah saudaranya sendiri yang bernama Patih Wiranangga, satu-satunya keturunan Imbanagara untuk mengantikan Raja yaitu seorang Aria bernama "Yogaswara" waktu kecil mendapat julukan dari sang Ayah bernama Mas Bongsar.

Di suatu ketika kerajaan Gara tengah mendapat malapetaka, tiba-tiba datang utusan penguasa Mataram yang dipimpin oleh Patih Narapaksa untuk membunuhnya, karena dituduh memberi upeti sebanyak tujuh orang puteri galuh tapi katanya salah satu puterinya tidak perawan lagi.

Setelah Gara Tengah menjadi daerah jajahan Mataram, maka kerajaaan Gara Tengah dirubah menjadi Kabupaten Gara Tengah dengan gelar Adipati. Namun nasib tak bisa dirundung, malang tak bisa dipantang, penghianatan demi penghianatan bagi Adipati Imbanagara belum usai, sehingga pada tahun 1630 beliau dibunuh oleh utusan Mataram.

Gara Tengah sepeninggal Adipati Imbanagara dipegang oleh Demang Utama yang diambil dari Kertabumi pada tahun 1630-1631. Lalu diganti oleh Tumenggung Dareh. Tetapi karena beliau tidak bisa mengatasi dan tidak bisa membasmi pemberontakan yang terjadi di Gara Tengah yang dipimpin oleh Syekh Gunung Gawang, akhirnya beliau hanya memerintah 2 tahun. 

Setelah turunnya pemerintahan Tumenggung Dareh, Kerajaaan Mataram pun menaruh perhatian dan memandang perlu, mengangkat Mas Bongsar putra dari Imbanagara menjadi Bupati Gara Tengah.

Maka dengan demikian Raja Mataram segera membuat piagam pengangkatan. Tetapi karena pada waktu itu Mas Bongsar (Yogaswara) dianggap masih belum cukup umur untuk memerintah sebagai bupati, maka dalam piagam berbunyi Mas Bongsar diangkat menjadi Bupati Gara Tengah dan diwakili atau dibantu oleh Patih Wiranangga. Tetapi rupanya patih Wiranangga pun diam-diam ingin merebut pemerintahan Gara Tengah, sehingga timbul dalam hatinya rasa iri dengki kepada keponakannya sendiri. Akhirnya Piagam yang ditujukan kepada Mas Bongsar itu dipalsukan dan dirubah menjadi nama Patih Wiranangga sendiri, yang diangkat menjadi bupati Gara Tengah.

Yang menulis piagam palsu itu bernama Ki Keludan dari Padaherang, atas suruhan Patih Wiranangga. Wiranangga melalui piagam palsunya memerintah (diangkat) selama 3 tahun yaitu dari tahun 1633 - 1636 M.

Akibat dari perbuatan pemalsuan dan penghianatan Wiranangga tersebut, akhirnya Mas Bongsar bersama-sama pengikut-pengikut setianya merasakan akan ketidakadilan dan kecerobohan pemerintahan Mataram mereka memutuskan untuk meninggalkan pusat pemerintahan Gara Tengah ke suatu tempat di hutan, yang tidak seorangpun tahu kemana mereka pergi, dan dimana mereka berada. Tempat yang dipakai tempat persembunyian bernama "Ciparay". Dalam persembunyinya Mas Bongsar mendapat dukungan dari pamannya bernama Lokasana dan Sukanyalare (Ipar Dipati Imbanagara).

Maksud dan tujuan Mas Bongsar berikut pengikunya meninggalkan pusat pemerintahan Gara Tengah itu adalah selain mereka merasa sakit hati, juga Mas Bongsar ingin mempersiapkan diri untuk membuktikan kepada pemerintahan Mataram, bahwa ayahnya yaitu Dipati Imbanagara tidak bersalah, juga membuktikan kelicikan dan penghianatan Wiranangga (pamannya) kepada dirinya sendiri.

Dengan segala persiapan dan latihan serta bantuan dari para pengikutnya ditempat persembunyian, akhirnya Mas Bongsar dapat membuktikan, siapa yang salah dan yang mana yang benar. Dan ternyata orang yang berkhianat itu adalah pamannya sendiri (Wiranangga).

Peristiwa ini rupanya diketahui oleh Sultan Agung, sehingga beliau menugaskan menghukum pancung bagi Wiranangga. Setelah Mas Bongsar mengetahui bahwa pamannya akan dikenakan hukuman mati dengan cara dipancung, maka beliau dengan segala keluhuran Budi dan kerendahan hati segera bersujud kepada Sultan Agung dengan tujuan untuk meminta supaya hukuman pancung yang akan dikenakan kepada pamannya (Wiranangga) dicabut kembali, dan Mas Bongsar bersedia memaafkan segala kesalahannya.

Akhirnya Sultan Mataram (Sultan Agung) merestui dan mengabulkan permintaan Mas Bongsar. Bahkan atas keluhuran budi dan kerendahan hati Mas Bongsar, maka beliau diberi gelar "Raden  Adipati", selain itu juga mendapat gelar "Panji" karena cita-cita Mas Bongsar sesuai dengan cita-cita penguasa Mataram, maka selain Mas Bongsar diangkat menjadi penguasa Gara Tengah juga mendapat gelar secara kumplit yaitu Raden Adipati Aria Panji Jaya Nagara, sebagai rasa haru dan hormat dari penguasa Mataram kepada Mas Bongsar, teapi Sultan Agung memerintahkan supaya nama Imbanagara dijadikan pusat pemerintahan yang dikehendaki oleh Mas Bongsar.

Raden Adipati Aria Panji Jaya Nagara memerintah atau jadi Adipati Gara Tengah dari tahun 1636-1642. Dalam melaksanakan pemerintahannya Raden Adipati Panji Jaya Nagara dibantu oleh keluarga dekat yang setia, diantaranya adalah : Dalem Lokasana, adik dari Adipati Imbanagara (ayahnya Mas Bongsar), dan beliau itu sebagai pencinta olah kanuragan serta banyak sekali jasa-jasanya dalam pendidikan jasmani. Maka oleh sebab itulah sampai sekarang nama dalem Lokanata diabadikan menjadi nama sebuah lapangan olah raga di Kota Ciamis (Lokasana).

Raden Adipati Aria Panji Jaya Nagara  memerintah di Gara Tengah selama 6 tahun. Pada tanggal 12 juni Raden Aria Panji Jaya Nagara, memindahkan pusat pemerintahan dari Gara Tengah ke Barunai yang selanjutnya disebut Galuh Imbanagara dan karena itulah maka pada sidang paripurna DPR II Kabupaten Ciamis tanggal 17 Mei tahun 1972 memutuskan bahwa tanggal 12 Juni tahun 1642 tersebut dijadikan titik tolak hari jadi Kabupaten Ciamis.

Pemerintah Galuh Imbanagara daerahnya meliputi sampai sebelah Barat Jawa Tengah, seperti diantaranya : daerah Dayeuh luhur, Nusa Kambangan, Banyumas dan Cilacap.

Akibat tindakan dari salah keturunan Prabu Haur Kuning yaitu Bupati ke 9 Raden Adipati Natadikusuma, dimana beliau tidak sepaham menentang pemerintahan Belanda, maka daerah kekuasaan daerah Galuh Imbanagara dipecah dan dipersempit oleh Pemerintahan Belanda sehingga sebelah Timur Sungai Citanduy diberikan ke Jawa Tengah, sedangkan Banjar, Kawasen Pangandaran dan Cijulang disatukan dengan Sukapura.


RADEN ADIPATI ARIA PANJI JAYA NAGARA (MAS BONGSAR)
Dipati Imbanagara (1625 - 1630 M) adalah seorang Adipati Gara Tengah yang bijaksana. Dalam pemerintahannya sangat memperhatikan rakyatnya. Sehingga keadaan wilayah Gara Tengah pada waktu itu kerta raharja, gemah ripah loh jinawi, tidak kurang sandang dan pangan. Patih kerajaan pada waktu itu adalah adalah saudara sendiri yang bernama Patih Wiranangga, satu-satunya keturunan Dipati Imbanagara (1625 - 1630 M) untuk mengantikan Raja yaitu seorang Aria bernama "Yogaswara", waktu kecil mendapat julukan dari sang Ayah bernama Mas Bongsar.

Di suatu ketika kerajaan Gara Tengah mendapat malapetaka, tiba-tiba datang urusan Kesultanan Mataram dipimpin oleh Patih Narakpaksa untuk membunuhnya karena dituduh memberi upeti sebanyak tujuh orang putri Galuh tapi katanya salah satu putri ternyata tidak perawan lagi.

Setelah Gara Tengah menjadi daerah jajahan Kesultanan Mataram, maka kerajaan Gara Tengah dirubah menjadi Kabupaten Gara Tengah. Dan Raja Gara Tengah dirubah menjadi Bupati Gara Tengah dengan gelar Adipati. Namun nasib tak bisa dirundung malang tak bisa dipantang, penghianatan demi penghianatan bagi Adipati Imbanagara belum usai, sehingga pada tahun 1630 beliau dibunuh oleh utusan Mataram.



Gara Tengah sepeninggal Imbanagara dipegang oleh Demang Utama yang diambil dari Kertabumi pada tahun 1630-1631. Lalu diganti oleh Tumenggung Dareh. Tetapi karena beliau tidak bisa membasmi pemberontakan yang terjadi di Gara Tengah yang dipimpin oleh Syek Gunung Lawang, akhirnya hanya memerintah selama 2 tahun.

Setelah turunnya pemerintahan Tumenggung Dareh, Kesultanan Mataram pun menaruh perhatian dan memandang perlu mengangkat Mas Bongsar putra dari Imbanagara menjadi Bupati Gara Tengah, oleh karena itu dengan demikian Sultan Agung Mataram segera membuat Piagam pengangkatan. Tetapi karena waktu itu pada waktu itu Mas Bongsar (Yogaswara) dianggap masih belum dewasa untuk memerintah sebagai Adipati, maka dalam Piagam berbunyi Mas Bongsar diangkat menjadi Adipati Gara Tengah diwakili atau dibantu oleh Patih Wiranangga pun diam-diam ingin merebut pemerintaha Gara Tengah, sehingga timbul dalam hatinya rasa iri dengan keponakannya sendiri. Akhirnya piagam yang ditunjukan kepada Mas Bongsar itu dipalsukan dan dirubah menjadi nama Patih Wiranangga sendiri, yang diangkat menjadi Adipati Gara Tengah. Yang menulis piagam palsu itu bernama Ki Keludan dari Padaherang, atas suruhan Patih Wiranangga. Wiranangga melalui piagam palsunya memerintah (diangkat) selama 3 tahun yaitu dari tahun 1633-1636 M.

Akibat dari perbuatan pemalsuan dan penghianatan Wiranangga tersebut, akhirnya Mas Bongsar bersama pengikut-pengikut setianya merasakan akan ketidak-adilan dan kecerobohan pemerintahan kesultanan Mataram, maka memutuskan untuk meninggalkan pusat pemerintahan Mataram mereka memutuskan untuk meninggalkan meninggalkan pusat pemerintahan Mataram, mereka memutuskan untuk meninggalkan pusat pemerintahan Gara Tengah ke suata tempat di hutan, yang tidak seorang pun tahu kemana mereka berada. Tempat yang dipakai persembunyian tersebut bernama "Ciparay". Dalam persembunyiannya Mas Bongsar mendapat dukungan dari pamannya bernama Lokasana dan Sukanyalare (Ipar Imbanagara).

Maksud dan tujuan Mas Bongsar berikut pengikutnya meninggalkan pusat pemerintahan Gara Tengah itu adalah selain mereka merasa sakit hati, juga Mas Bongsar ingin mempersiapkan diri untuk membuktikan kepada pemerintahan Mataram, bahwa ayahnya Imbanagara, juga untuk membuktikan kelicikan dan penhianatan Wiranangga (pamannya) kepada dirinya.

Dengan segala persiapan dan latihan serta bantuan dari para pengikutnya ditempat persembunyian, akhirnya Mas Bongsar dapat membuktikan siapa yang salah dan mana yang benar. Dan ternyata yang berkhianat itu adalah pamannya sendiri (Wiranangga).

Peristwa itu rupanya diketahui oleh Sultan Agung, sehingga beliau menugaskan menghukum pancung Wiranangga. Setelah mengetahui bahwa pamannya akan dikenakan hukuman mati dengan cara dipancung, maka beliau dengan segala keluhuran budi dan kerendahan hati segera menghadap kepada Sultan Agung dengan tujuan untuk meminta supaya hukuman yang dikenakan kepada pamannya Wiranangga  dicabut kembali, dan Mas Bongsar bersedia memaafkan segala kesalahannya. Mas Bongsar meminta dicabut hukuman kepada Sultan Agung dengan tujuannya adalah tidak ingin korban bertambah lagi di keluarganya, dimana Ayahnya Dipati Imbanagara (1625 - 1630 M) dan kakeknya Dipati Panaekan (1618-1625 M) menjadi korban pembunuhan sebagai akibat penguasa daerah bawahan kesultanan Mataram.

Akhirnya Sultan Mataram atau Sultan Agung  (1613 - 1645) menyetujui dan mengabulkan permintaan Mas Bongsar. Bahkan atas keluhuran budi dan kerendahan hati Mas Bongsar, maka beliau diberi gelar "Adipati", selain itu juga diangkat sebagai Mas Bongsar mendapat gelar "Panji" karena cita-cita penguasa Mataram, maka selain Mas Bongsar diangkat menjadi Bupati Gara Tengah juga mendapat gelar secara komplit yaitu Raden Adipati Jaya Negara, sebagai rasa haru dan rasa hormat dari penguasa Mataram kepada Mas Bongsar, sedangkan dinasti Ki Imbanagara tidak dijadikan gelar bagi Mas Bongsar, tetapi Sultan Agung memerintahkan supaya nama Imbanagara dijadikan suatu Pusat Pemerintahan yang dikehendaki oleh Mas Bongsar.

Raden Adipati Aria Panji Jaya Nagara memerintah atau jadi Adipati Gara Tengah dari tahun 1636-1642 M dan tahun 1642- 1678 M. Dalam melaksanakan pemerintahannya, Raden Panji Aria Nagara dibantu oleh keluarga dekatnya (pamannya) adalah Dalem Lokasana adik dari Dipati Imbanagara (ayahnya) dan Ki Pawindan dan Ki Muji.  Nama Lokasana dijadikan sebuah lapang olah raga di Kota Ciamis sedangkan nama Ki Pawidan pun diabadikan menjadi nama sebuah kampung di desa Panyingkiran.

Raden Panji Aria Nagara memerintah di Gara Tengah selama 6 tahun, pada tanggal 12 juni 1642, memindahkan pusat pemerintahannya dari Gara Tengah ke Barunai yang selanjutnya disebut Galuh Imbanagara dan karena itulah maka sidang paripurna DPR Tingkat II Ciamis tanggal 17 Mei 1972, memutuskan bahwa tanggal 17 Juni tahun 1642 tersebut dijadikan titik tolak hari jadi Kabupaten Ciamis.

Pada waktu itu pemerintahan Galuh Imbanagara daerahnya meliputi sampai sebelah Barat Jawa Tengah seperti diantaranya : Daerah Dayeuh Luhur, Nusa Kambangan, Banyumas dan Cilacap. 

Akibat salah satu keturunan Dipati Imbanagara (1625 - 1630 M), yaitu Bupati ke 9, Raden Adipati Natadikusuma (1801 - 1806 M), dimana beliau tidak sepaham dan menentang pemerintahan Belanda sehingga sebelah Timur Sungai Citanduy diberikan kepada Jawa Tengah, sedangkan Banjar, Kawasen Pangandaran dan Cijulang disatukan dengan Sukapura.

Semoga menjadi pelajaran kebijaksanaan dan menjadi sikap suri keteladan dalam memahami perjuangan para leluhur.


PENJELASAN KETURUNAN RADEN PANJI ARIA NAGARA 
1. Jabatan : 
  • Bupati Galuh Gara Tengah (Cibodas)
  • Bupati Pertama Galuh Imbanagara
2. Tahun Jabatan:
  • 1636 s/d 1642
  • 1642 s/d 1678
3. Nama Kecil :
  • Yogaswara atau Mas Bongsar
4. Gelar :
  • Raden Adipati Aria Panji Nagara
5. Nama Ayah :
  • Adipati Imbanagara (Dalem Gegembung)
6. Nama Ibu :
  • Anjung Larang 
7. Nama Isteri :
  • Nyi Mariah atau Nyi Ajeo Ibariah atau Nyi Gedeng Muda (Murda), putra bungsu Dipati Rangga Gempol (Pangeran Soeriadiwangsa) 
  • 5 Orang Putra, yaitu :
  1. Dalem Rd. Aria Anggapradja atau Mas Tumbal
  2. Rd. Adipati Angganaya 
  3. Ni Mas Kurawut
  4. Ni Mas Galuh x Dmg. Wirasoeta (Rd. Ad. Panatajoeda 1), Bupati Karawang Tahun 1679.
  5. Rd. Angganata 

Generasi ke 5
1.2.2.6.1  Raden Anggapradja atau Mas Tumbal Adipati Galuh Imbanagara  (1678- 1679), menikahi Nyi Asih putri Ki Paludang dari Sadananya, mempunyai anak :
1.2.2.6.1.1 Dlm. R. Soetadiwangsa I (Cibodas - Cilutung)

Keterangan : Putra pertama Raden Adipati Aria Panji Jaya Nagara (Mas Bongsar), tidak lama menjabat Adipati karena tidak bersedia bekerja sama dengan pihak kompeni belanda yang mulai masuk ke daerah Galuh Imbanagara, beliau memilih jadi rakyat biasa dan merasa punya tugas khusus yaitu untuk mendatangkan rakyat sebanyak 670 jiwa yang hilang karena kerusuhan perampok yang dipimpin oleh Parwata dan Raden Anggapradja lebih memilih ke tanah keturunannya di Gara Tengah dengan isterinya, sedangkan Keadipatian Galuh Imbanagara diserahkan kepada adiknya yaitu Rd. Adipati Angganaya 

Selain itu lebih memilih isteri seorang anak petani dari Sadananya yang bernama Nyi Asih putra ki Paludang padahal oleh orang tuanya sudah menjodohkannya kepada Nyi Mas bumi putrinya putra Adipati Singacala Bupati Kawali. Untuk tidak mengecewakan orang tuanya, serta calon isterinya agar tetap menjadi Raden Ajoe Galuh Imbanagara, maka Nyi Mas Bumi diberikan kepada adiknya yaitu  Rd. Adipati Angganaya dan adiknya menjadi Bupati Galuh Imbanagara (mp. 1678-1693 M).




Generasi ke 6
1.2.2.6.1.1 Dlm. R. Soetadiwangsa I, berputra :
1.2.2.6.1.1.1 Dlm. R. Tjandrakoesoemah 
1.2.2.6.1.1.2 Dg. Anggapradja 
1.2.2.6.1.1.3 Kiai Soetapria 
1.2.2.6.1.1.4 Kiai R. Abdoel Anggamalan atau Anggamalang 
1.2.2.6.1.1.5 R. Anggapradja 

Generasi ke 7
1.2.2.6.1.1.4 Kiai R. Abdoel Anggamalang atau Anggamalang, berputra :
1.2.2.6.1.1.4.1 Rd. Kapi Ibrahim I
1.2.2.6.1.1.4.2 Rd. Rajinala
1.2.2.6.1.1.4.3 Rd. Abdoel Rachman
Raden Anggamalang adalah seorang Kyai yang pertama menyebarkan Agama Islam di wilayah Nagara Tengah. Terpilih menjadi Penghulu dan sebagai Hakim Leuwi Panereban. Sesudah meninggal dimakamkan di Pasir Abas sekarang Dusun Cikanyere dan Astananya di Dusun Darmasari (Cidarma) Desa Madiasari Kecamatan Cineam.

Sementara menurut Sasasakala Cineam Raden Anggamalang sebagai Kiyai atau Penghulu atau Hakim Leuwi Panareban, mempunyai 7 putra,  yaitu:
1. Kyai Kapi Ibrahim
2. Kyai Abdoel Rokhaniah
3. Raden Bakhorah
4. Raden Malaganata
5. Raden Ria Winata
6. Dalem Sumur
7. Nyi Raden Sisi Leri

Di Geret tengah setelah kepindahan Pusat Kedaleman ke Imbanagara suasananya menjadi sepi karena penghuninya banyak yang pindah dari tempat itu. Seperti diantaranya : 
Kyai Kapi Ibrahim dan Kyai Kapiyudin serta Raden Anggawinata pindahnya ke daerah yang disebut Wanalapa sekarang.

Kyai Kapiyudin membuat Pesantren disebelah utara Sungai Cihapitan.  Setelah meninggal Kyai Kapiyudin dimakamkan di daerah Kembang Gadung Kampung Negla Desa Cijulang Kecamatan Cineam berdekatan dengan makam Kyai Kapi Ibrahim.

Putra penghulu Kyai Abdul Rokhaniah yang bernama Raden Subakerta dan Isterinya Nyi Raden Tiru setelah Ayahnya meninggal dari Geret Tengah pindah ke daerah yang disebut Babakan sekarang.

Raden Malangganata (Embah Malang), dan Kyai Kapi Ibrahim II pindahnya ke daerah Tembong Gunung Harjawinangun daerah Manonjaya sekarang.


Generasi ke 8
1.2.2.6.1.1.4.1 Rd. Kapi Ibrahim, berputra : 
1.2.2.6.1.1.4.1.1.1 Rd. Kapi Ibrahim II 
1.2.2.6.1.1.4.1.1.2 Ki  Noesajin atau Rd. Noersajin
1.2.2.6.1.1.4.1.1.3 Ki Kapioedin 
1.2.2.6.1.1.4.1.1.4 Ki Noersamid atau Noersahid 
1.2.2.6.1.1.4.1.1.5 Ki Anggawinata 
1.2.2.6.1.1.4.1.1.6 Rd. Kapi Ibrahim II (Ari)



Generasi ke 9
1.2.2.6.1.1.4.1.2 Ki Noesajin atau Rd. Noersajin, berputra salah satunya :
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1 Rd. Moekijam

Generasi ke 10
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1 Rd. Moekijam, berputra salah satunya :
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1 Nyi Rd. Erat

Generasi ke 11

1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1 Nyi Rd. Erat, berputra salah satunya :
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2  Nyi Rd. Enok.

Generasi ke 12
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2 Nyi Rd. Enok, berputra salah satunya :
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2.1 Nyi Rd. Iwi

Generasi ke 13

1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2.1 Nyi Rd. Iwi, berputra salah satunya :
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2.1.4 Nyi Rd. Rokayah (Ma Ajoe)

Generasi ke 14
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2.1.4 Nyi Rd. Rokayah (Ma Ajoe) x H. Muhamad Jen (isteri ke 1), berputra :
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2.1.4.1 NR. Onah Soemadiwangsa (almrh) di Patung (Mayor Andurahman 59) 
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2.1.4.2 R. Empoe Soemadiwangsa (alm) di Gending
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2.1.4.3 R. Basit Ariadiwangsa (alm) di Conggeang
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2.1.4.4 R. Cepo Ariadiwangsa (alm) di Gending.
Ket : H. Muhamad Jen (alm) adalah penulis "Wawacan Sumedang B"  dari Cibitung Padasuka, pada jaman Pangeran Soegih (Rd. Somanagara).

Generasi ke 16
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2.1.4.1 Nyi Rd. Onah Soemadiwangsa x Rd. Entjoh Soerialaga (isteri ke 2), berputra :
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2.1.4.1.1. Maskan Soerialaga (alm)
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2.1.4.1.2 Masinten Soerialaga (almrh)
1.2.2.6.1.1.4.1.2.1.1.2.1.4.1.3 Mastidjah Soerilaga atau H. Kadtijah (almrh)




Sumber
:

- Buku Jati Sampurna Sumedang
- Bagan Silsilah Gending Sumedang.


Posting Komentar

0 Komentar